Tak lama berselang, gerombolan aparat baik yang mengenakan seragam atau berpakaian bebas menghampiri mobil tersebut, dan memintanya untuk turun. Pasalnya, Herry dituding telah berinisiatif masuk ke dalam mobil.
Namun Herry menjelaskan jika ia masuk ke dalam mobil atas permintaan Polwan yang ada di dalamnya.
Setelah keluar dari mobil, polisi langsung mencekiknya dan menggiring Herry sejauh 50-60 meter dari pemukiman warga sembari menanyakan kartu persnya.
“Saya mengulangi penjelasan saya kepada polwan itu dan meminta mereka mengecek web Floresa karena di situ terdapat pengakuan dan penegasan bahwa saya adalah jurnalis sekaligus Pemimpin Redaksi Floresa,” ucap Herry.
Walau sudah dijelaskan dirinya adalah seorang jurnalis, Herry mengaku menerima pemukulan saat digiring ke samping mobil milik TNI. Dia juga mengaku turut dianiaya sejumlah aparat hingga wartawan.
“Mendapat pukulan bertubi-tubi itu, saya berteriak-teriak. Beberapa warga Poco Leok mendekat ke lokasi pemukulan itu dan merekam aksi aparat dan wartawan itu dengan kamera ponsel,” ungkapnya.

Aksi penganiayaan yang dialami Herry sempat direkam oleh warga menggunakan gawai. Namun, sejumlah aparat langsung melarang warga untuk mendokumentasikan aksi pemukulan terhadap Herry.
“Pukulan-pukulan itu menyebabkan pelipis kiri saya bengkak dan lebam serta lutut saya terasa sakit. Cekikan mereka juga membuat rahang kanan dan area hidung saya terluka,” jelasnya.
Herry mengaku ditangkap aparat karena hasil jepretannya telah memprovokasi warga. Bahkan, Herry juga dituding kerap membuat berita miring tentang proyek geotermal.
Selain dianiaya saat meliput aksi protes warga, peralatan kerja milik Henry seperti laptop dan kamera turut disita aparat.