Suara.com - Pengangguran di kalangan lulusan sarjana masih menjadi isu serius di Indonesia, meskipun tren penurunannya mulai terlihat dalam beberapa tahun terakhir.
Pengamat ekonomi sumber daya manusia (SDM) dari Universitas Andalas (Unand), Delfia Tanjung Sari mengatakan, salah satu penyebab utama tingginya angka pengangguran di kalangan sarjana adalah karena lulusan cenderung memilih pekerjaan dan memiliki ekspektasi yang terlalu tinggi.
“Setelah lulus, kebanyakan dari mereka langsung menginginkan pekerjaan tertentu dan cenderung pilih-pilih pekerjaan,” ungkap Delfia Tanjung Sari, Kamis (3/10/2024).
Fenomena ini semakin diperburuk oleh fakta bahwa sebagian besar pencari kerja pemula belum merasakan tanggung jawab besar seperti mereka yang sudah berkeluarga.
Selain itu, Delfia menambahkan bahwa para lulusan baru ini merasa tidak terlalu tertekan jika belum mendapatkan pekerjaan yang diinginkan karena status mereka yang masih lajang.
“Mereka merasa belum punya beban tanggung jawab besar, jadi kalau belum dapat pekerjaan, mereka cenderung tidak terlalu memikirkannya,” katanya lagi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pengangguran lulusan sarjana berkontribusi signifikan terhadap angka pengangguran terbuka di tanah air.
Pada Februari 2024, tingkat pengangguran terbuka mencapai 4,82 persen, meskipun angka ini terus mengalami penurunan sejak 2021.
Wakil Rektor I Universitas Andalas, Prof Syukri Arief, menjelaskan bahwa kondisi ini menjadi tantangan bagi kampus untuk melahirkan lulusan yang siap bekerja dan memiliki jiwa entrepreneur.
“Tugas kampus adalah memastikan lulusan tidak hanya memiliki kemampuan akademik, tetapi juga keterampilan praktis yang membuat mereka siap memasuki dunia kerja,” ujarnya.
Perubahan ini sangat diperlukan untuk menekan angka pengangguran sarjana di masa depan. Harapannya, dengan meningkatkan keterampilan dan kesiapan kerja, para lulusan bisa lebih mudah beradaptasi dengan dunia profesional yang terus berkembang. (antara)