Suara.com - Kekerasan terhadap jurnalis terjadi lagi. Terbaru Pemimpin Redaksi (Pemred) Floresa Herry Kabut ditangkap aparat gabungan saat meliput unjuk rasa warga menolak proyek geothermal atau panas bumi, Kamis (2/10/2024).
Herry ditangkap aparat bersama Warga Poco Leok yang menolak keberadaan proyek geothermal di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT). Herry bertolak ke Poco Leok untuk meliputi aksi protes warga yang sudah berhadap-hadapan dengan Pemerintah dan PT PLN. Warga menentang upaya pematokan lahan proyek geothermal.
Hingga pukul 15.00 Wita, Herry masih berada di dalam mobil aparat bersama beberapa warga. Floresa berupaya memverifikasi jumlah pasti warga yang ditangkap.
Pemerintah dan PT PLN mengerahkan aparat gabungan dari unsur Satpol PP, Polisi dan TNI dalam mengawal pematokan lahan.
Baca Juga: AJI Jakarta Desak Pihak Kepolisian Mengusut Tuntas Aksi Teror yang Dialami Jurnalis Tempo
Menurut kesaksian seorang warga yang melihat peristiwa penangkapan tersebut, Herry tiba-tiba ditarik aparat.
“Ia dipukul saat dibawa paksa ke dalam mobil,” kata warga itu.
Saat sejumlah warga berusaha mengambil video dan foto ketika penangkapan Herry terjadi, aparat menghalaunya.
Hingga saat ini, tim Floresa belum bisa berkomunikasi dengan Herry. Dugaan kuat, Herry ditahan aparat lantaran getol menyoroti kritikan terhadap pembangunan Geothermal.
Pelanggaran HAM dan Demokrasi
Baca Juga: Soroti Kasus Union Busting Jurnalis CNN Indonesia, Bivitri: Setiap Orang Berhak Berserikat!
Menyikapi penangkapan Herry oleh aparat, Founder dan Direktur The Indonesian Agora Research Center dan Ranaka Institute, Fredi Jehalut menyebut bahwa intimidasi tersebut sebagai tindakan yang tidak bisa dibenarkan.
"Selain menyalahi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Kebebasan Pers, tindakan tersebut juga melanggar hak atas kebebasan berpendapat yang diatur dalam Pasal 28E Ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," ungkapnya kepada PARBOABOA, Rabu (02/10/2024).
Lebih dari itu, tindakan intimidasi dan kekerasan yang dilakukan aparat terhadap warga Poco Leok dan jurnalis merupakan bentuk pelanggaran 'hak-hak asasi manusia' melalui penindakan (by commission).
"Oleh karena itu, pelakunya harus diusut dan ditindak tegas," katanya.
Ferdi hendak menegaskan kewajiban negara dalam menjamin kebebasan mengemukakan pikiran dan pendapat, sesuai amanat Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945.
Beleid ini menyebutkan bahwa hukum tidak boleh melarang kebebasan berekspresi seorang jurnalis, selama tidak ditujukan untuk penghinaan, kebencian, atau pencemaran nama baik.
Menurut riset yang dilakukan Abdurrakhman Alhakim (2022), 'Urgensi Perlindungan Hukum terhadap Jurnalis dari Risiko Kriminalisasi UU Informasi dan Transaksi Elektronik di Indonesia,' ada beberapa prasyarat suatu negara dikatakan menjamin kebebasan pers.
"Di antaranya, jurnalis tidak diwajibkan meminta izin penerbitan kepada pemerintah dan pemerintah tidak berwenang menyensor informasi yang akan diterbitkan," tulis Alhakim.
Ia juga menambahkan bahwa pemerintah secara hukum tidak boleh melarang penerbitan pers dalam jangka waktu tertentu. Sebab, intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis justru berdampak mengikis pemikiran kritis dan keberanian dalam menghadapi kekuasaan.
"Fenomena ini bertentangan dengan pernyataan pemerintah mengenai jaminan kebebasan pers, seperti yang diatur dalam UU Pers," lanjut Alhakim.
Meskipun undang-undang pers menetapkan hukuman bagi siapa saja yang menghalangi kebebasan pers, kenyataannya masih 'jauh panggang dari api'.
Intimidasi terhadap Pemred Floresa menunjukkan secara jelas sikap negara yang abai terhadap kebebasan pers, selebihnya hak-hak dasar jurnalis yang harus dilindungi.
Apa yang terjadi di Poco Leok?
Proyek Geothermal Poco Leok merupakan perluasan dari PLTP Ulumbu yang sudah beroperasi lebih dari satu dekade dan berjarak sekitar tiga kilometer di sebelah barat Poco Leok, Kabupaten Manggarai.
Proyek ini merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) di Pulau Flores dan tercantum dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT PLN 2021-2030.
Desain tapak PLTP Ulumbu Unit 5-6 di Poco Leok, menurut sosialisasi pemerintah, bertujuan meningkatkan kapasitas listrik dari 7,5 MW menjadi 40 MW.
Proyek ini dibagi ke dalam beberapa zona, yaitu Wellpad D yang terletak di Lingko Tanggong dan Wellpad E yang mencakup Kampung Cako, Leda, serta Lelak di Desa Lungar.
Meskipun demikian, warga Poco Leok yang hidup dan menempati 14 kampung adat di Kecamatan Satar Mese, terus menolak proyek tersebut karena merasakan dampak ekologis yang merugikan.
Sejumlah kejadian seperti tanah longsor, banjir, dan menurunnya tanah acap kali dialami warga yang tinggal di Poco Leok.
Selain itu, pembangunan proyek Geothermal untuk meningkatkan ketersediaan energi listrik disinyalir bukan sebagai kebutuhan prioritas warga. Proyek ini justru berlangsung di tengah situasi surplus elektrifikasi, baik secara nasional maupun lokal.
Keberlanjutan proyek Geothermal di Poco Leok lantas menuai perdebatan, terutama terkait dengan dampaknya terhadap masyarakat setempat dan lingkungan.
"Soal polemik Geothermal Poco Leok, problemnya menurut saya terletak pada buruknya komunikasi publik dan pendekatan yang dilakukan pemerintah," tegas Ferdi.
Pemerintah, ungkapnya, tidak menjelaskan secara proporsional kepada masyarakat soal dampak positif dan negatif proyek Geothermal. Selain itu, komitmen mereka terhadap nasib warga di sekitar area proyek juga tampak lemah.
Oleh karena itu, Fredi mendesak agar semua kebijakan publik yang diambil mestinya mengedepankan prinsip partisipasi publik yang bermakna.
"Artinya, suara masyarakat itu perlu didengarkan. Jangan memaksakan [kelanjutan] proyek yang sudah ditolak oleh masyarakat."
Menurutnya, dalam situasi kritis dan krisis, pemerintah secara terpaksa hanya mengandalkan pendekatan teknokratis. Namun, dalam situasi normal, pendekatan teknokratis saja tidak cukup.
"Harus ada partisipasi publik yang bermakna, sehingga kebijakan tersebut tidak menimbulkan resistensi yang masif," ujarnya.