Kasus Kekerasan Seksual Perempuan Masih jadi Isu 'Seksi' Media, Dewan Pers: Bukan Lindungi Korban tapi Diekploitasi

Rabu, 02 Oktober 2024 | 17:40 WIB
Kasus Kekerasan Seksual Perempuan Masih jadi Isu 'Seksi' Media, Dewan Pers: Bukan Lindungi Korban tapi Diekploitasi
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu memberikan sambutan pada acara Local Media Summit (LMS) 2024 yang digelar Suara.com di Hotel Sultan Jakarta, Rabu (2/10/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kasus kriminal yang berkaitan dengan pelecehan maupun kekerasan seksual terhadap perempuan menjadi topik yang paling banyak diliput oleh media massa di Indonesia. Namun, Dewan Pers Republik Indonesia menemukan bahwa masih banyak media yang melanggar kode etik pembuatan berita kasus kriminal tersebut.

Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan, temuan itu berdasarkan riset Nuzuli tahun 2021. 

"Topik kekerasan seksual paling banyak diliput oleh media yang ada term pemerkosaan, pelecehan seksual, dan penjualan perempuan. Tapi media masih belum memenuhi kaidah kode etik jurnalistik," kata Ninik saat hadir dalam acara Local Media Summit (LMS) 2024 di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu (2/10/2024).

Pelanggaran kode etik jurnalistik yang paling sering dilakukan seperti, mencampurkan fakta dan opini, mengungkap identitas korban, identitas pelaku anak maupun pelaku dewasa, di mana korban belum siap untuk dibuka kasusnya.

Baca Juga: Disebut Tak Punya Legacy Positif, Rocky Gerung Kuliti Pencitraan Jokowi Lewat Doorstop Settingan Istana: Itu Berbahaya!

Ninik Rahayu, Ketua Dewan Pers Republik Indonesia di LMS 2024. (Suara.con/Raihan)
Ninik Rahayu, Ketua Dewan Pers Republik Indonesia di LMS 2024. (Suara.con/Raihan)

Menurut Ninik, pelanggaran kode etik itu dipicu karena media, terutama berbasis online, butuh term tertentu untuk membuat beritanya menarik publik agar mau berlama-lama membaca atau pun menyaksikannya. 

"Media menggunakan term, kata yang disukai oleh user supaya dapat klik banyak. Ya meskipun tadi sudah dijelaskan, tidak lagi pada agregat ya, yaitu terkait isu seksual dan kekerasan seksual. Ini adalah topik berita yang mempunyai nilai jual tinggi bagi media online," ujarnya.

Ninik juga mengkritik, media online yang masih membuat isi konten yang menggiring pembaca untuk menimbulkan sterotipe terhadap korban. Kecenderungan tersebut kerap kali terlihat dari tampilan narasi berita yang menunjukan seolah kekerasan seksual dianggap sebagai peristiwa wajar. 

"Ini semua hasil penelitian yang dilakukan oleh berbagai pihak. Dewan Pers tahun 2022 kemudian juga melakukan riset terhadap 10 media online. Dan hasilnya temuan-temuan kata kunci belum mencerminkan perlindungan korban dan responsifitas gender," ujarnya.

Dewan Pers melihat ada empat hal yang dianggap tidak responsif gender, karena ada stereotype atau pelabelan pada identitas gender tertentu, diskriminasi dan kekerasan, ada marginalisasi, serta terdapat viktim lain.

Baca Juga: Blak-blakan! Ngaku Tak Pernah Benci Jokowi Meski Kerap Dikritik, Rocky Gerung Bilang Begini

"Di luar itu, belum memberikan perlindungan kepada korban, mengungkap identitas korban, menarasikan detail kegiatan berupa perkosaan atau pelecehan seksual, penghakiman korban dan penghukuman," pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI