Suara.com - Usai ditetapkan tidak bersalah atas dugaan penghasutan yang berakibat kerusuhan di kawasan PT. Gunbuster Nickel Industri (GNI) pada 14 Januari 2023, melalui upaya hukum ditingkat kasasi pada tanggal 15 Februari 2024, Minggu Bulu dan Amirullah mengajukan Gugatan Ganti Rugi dan Rehabilitasi.
“Ini merupakan perlawanan balik atas praktik pemberangusan serikat (union busting) yang menggunakan cara-cara hukum dan membungkam suara pekerja. Minggu Bulu dan Amirullah hanya dua dari sekian banyak buruh yang mengalami kriminalisasi ketika memperjuangkan haknya,” ujar Hutomo Mandala Putra selaku tim hukum dalam rilis, Selasa 1 Oktober 2024.
Sidang perdana bergulir di Pengadilan Negeri Poso pada tanggal 30 September 2024, termuat dalam memori gugatan menjelaskan bahwa kedua terdakwa telah terbukti tidak bersalah serta berhak untuk menuntut ganti rugi dan rehabilitas setidaknya sejak Januari 2023.
"Setelah kami menjalani masa tahanan selama 14 bulan karena diproses hukum yang dituduhkan kepada kami dan divonis bebas oleh mahkamah agung karena tidak terbukti, banyak kerugian yang saya alami terkhusus saya harus kehilangan pekerjaan dan saya tidak bisa menafkahi keluarga saya dan keluarga saya pun harus mengeluarkan banyak biaya untuk kebutuhan saya selama ditahan,” ucap Minggu Bulu
Baca Juga: Buruh Rokok Ancam Turun ke Jalan Jika Kebijakan Kemasan Rokok Polos Diberlakukan
Upaya hukum ini selaras sebagaimana tertuang dalam KUHAP pasal 1 butir 22 dan Pasal 95 KUHAP untuk menuntut ganti rugi sebagaimana juga dikehendaki oleh Pasal 14 ayat (6) Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang ratifikasi kovenan internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang menyatakan bahwa:
“Apabila seseorang dijatuhi hukuman dengan keputusan hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan apabila kemudian ternyata diputuskan sebaliknya atau diampuni berdasarkan suatu fakta batu, atau fakta yang baru saja ditemukan menunjukkan secara meyakinkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam penegakan keadilan. Maka orang yang telah menderita hukuman sebagai berikut akibat dari keputusan tersebut harus diberi ganti rugi menurut hukum, kecuali jika dibuktikan bahwa tidak terungkap fakta yang tidak diketahui, sepenuhnya atau untuk sebagian disebabkan karena dirinya sendiri”;
Sebagaimana kita ketahui, dikabulkannya Kasasi kedua terdakwa dalam hal ini Minggu Bulu dan Amirullah, secara terang menjelaskan ke publik bahwa Aparat Penegak Hukum baik itu pihak Kepolisian maupun Jaksa Penuntut Umum keliru dalam menilai dugaan tindak pidana Mogok kerja yang dikualifikasi sebagai tindak pidana.
Termasuk, mengingat bahwa fakta persidangan menguak kesaksian baik itu Ahli dan Bukti surat tidak ada yang mampu mengkaitkan tindakan yang dilakukan oleh Serikat Buruh - SPN berujung kerusuhan ditimbulkan akibat aksi mogok para buruh.
Murni bahwa segala aktivitas yang dilakukan oleh SP SPN PT. GNI ingin menyampaikan aspirasi sekaligus menuntut hak-hak para pekerja. Dalam hal ini kondisi kerja yang sangat buruk, mengingat penerapan prosedur K3 di PT. GNI tidak sesuai dengan standar peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Apa yang kami lakukan hanya memperjuangkan hak-hak kami sebagai buruh tapi kami malah dikriminalisasi. Kami dilapor kepolisian dengan tuduhan melakukan penghasutan, kemudian kami ditahan selama 14 bulan dan kasus kami diperiksa sampai ke tingkat kasasi. Pada akhirnya kami dinyatakan tidak bersalah,” tutur Amirullah.
Baca Juga: Kisah Kelam Septia: Curhat Soal Upah Berujung Kriminalisasi UU ITE
Dengan melihat fakta di lapangan, penerapan standar Alat Pelindung Diri (APD) sesuai dengan ketentuan K3 itu juga sangat buruk. Resiko terjadinya kecelakaan kerja itu cukup besar. Hal ini juga menjadi tuntutan oleh para pekerja.
Secara garis besar, tindakan fatal yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum dalam kasus ini dapat diklasifikasi menjadi dua. Pertama, tertuang dalam memori Kasasi, bahwa telah melanggar ketentuan hukum Pembuktian sesuai dengan Pasal 183, dan tidak mempertimbangkan semua alat bukti yang hadir di persidangan.
Kedua, mulai dari putusan tingkat pertama dan tingkat banding, penyidik dan jaksa penuntut umum termasuk Majelis Hakim keliru dalam mengaitkan bentrokan pekerja dengan aksi demonstrasi yang secara jelas merupakan hak kebebasan berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat.
“Lewat perkara ini kita menegaskan jika Kepolisian dan kejaksaan telah menyalahgunakan penegakan hukum seolah membela perusahaan, mereka harus bertanggung jawab,” ujar Abdul Azis Dumpa selaku Direktur LBH Makassar
Terhadap Minggu Bulu dan Amirullah, selaku Pejuang HAM yang telah dinyatakan tidak bersalah tentu mengalami kerugian material maupun immaterial.
“Kerugian yang paling terasa adalah psikologis saya yang terguncang bahkan psikologis keluarga saya juga terguncang terlebih anak-anak saya yang dibully oleh teman sekolahnya karena ayahnya dipenjara karena dituduh melakukan tindakan kriminal, bahkan sampai sekarang saya belum bekerja karena imbas menjalani proses hukum ini," tambah Minggu Bulu.
Tidak hanya Minggu Bulu, rekan kerja yang dianggap melakukan penghasutan secara bersama-sama, Amirullah juga mengalami kerugian setidaknya dalam rentang waktu selama 14 bulan dalam masa proses peradilan.
“Kami banyak mengalami kerugian akibat proses hukum itu, mulai dari kehilangan pekerjaan hingga kami dan keluarga kami mengalami tekanan psikologis, sehingga kami mencari keadilan dengan mengajukan praperadilan ini,” pungkas Amirullah.
Kasus kedua Pejuang HAM dalam hal ini Minggu Bulu dan Amirullah merupakan pijakan refleksi bersama dalam melihat betapa pentingnya memandang isu ketenagakerjaan yang kerap dianggap bukan menjadi isu krusial, pentingnya menuntut isu K3 di lokasi kerja sangat menjadi isu pokok bagi pekerja.
Gugatan pra peradilan sejatinya ingin menjelaskan kepada publik bahwa, setiap buruh berhak atas pekerjaan yang layak sekaligus berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum oleh pemerintah.
Tindakan kesewenangan perusahaan yang mengunci aspirasi dan menggunakan Aparat keamanan merupakan bentuk penindasan yang harus dilawan.