Suara.com - Gaya komunikasi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Kaesang Pangarep, belakangan curi perhatian publik. Putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu tak ragu mengangkat isu sensitif tentang dia dan keluarganya di ruang publik.
Seperti mengenakan baju bertuliskan 'Putra Mulyono' kemudian yang terbaru membuat guyonan kepada kader PSI akan memberi hadiah pesawat jet pribadi jika berhasil menangkan paslon cagub-cawagub Jakarta Ridwan Kamil-Suswono.
Peneliti komunikasi politik Effendi Gazali menyebut bahwa Kaesang sedang meniru pemerintahan Soeharto pada masa Orde Baru.
"Ini masalah sensitivitas politik. Dengan cepat dia mengambil contoh di era pemerintahan Pak Harto," kata Effendi saat dihubungi Suara.com, Senin (30/9/2024).
Dia menjelaskan, konon pada masa orba ada orang yang setiap hari hanya melaporkan hal-hal baik mengenai kondisi negara kepada Soeharto. Padahal realitanya, mahasiswa dan rakyat sudah kesal dengan suasana batin lamanya Soeharto berkuasa serta masalah-masalah sosial, politik, ekonomi, dan lainnya pada tahun 1998.
Akibatnya Keluarga Cendana menjadi kurang sensitif terhadap masalah negara hingga akhirnya terjadi Gerakan 1998 yang melahirkan reformasi.
Hal serupa nampak tengah terjadi pada Kaesang. Effendi menduga umpan balik yang diterima keluarga Kaesang juga masih berupa cerita-cerita amat bagus dan pujian.
"Sehingga anak dan mantu Presiden ini masih coba membalas lontaran kritik atau kekesalan warga dengan baju atau tulisan seperti itu. Apalagi dikaitkan dengan masalah private jet sebagai hadiahnya," ujarnya.
Menurut Effendi, segala konsekuensi dari sikap Kaesang akan terlihat juga melalui sikap publik. Dia menyampaikan bahwa sikap mengolok balik dari Kaesang itu bisa jadi dianggap cerdas atau malah menimbulkan antipati publik yang muncul sedikit demi sedikit.
Baca Juga: Unggah Foto Naik Pesawat, Iwan Fals Diduga Sindir Kaesang Pangarep: Bukan Jet Pribadi
"Semoga kesadaran soal sensitivitas politik ini tidak datang terlambat. Karena apa? Setiap orang ada masanya dan setiap masa ada orangnya. Sebagai rakyat biasa, sebagai peneliti saya bisa merasakan tendensinya," pungkas Effendi.