Mengenal Apa Itu Nasakom: Konsep Demokrasi Terpimpin Ciptaan Presiden Sukarno

M. Reza Sulaiman Suara.Com
Sabtu, 28 September 2024 | 07:17 WIB
Mengenal Apa Itu Nasakom: Konsep Demokrasi Terpimpin Ciptaan Presiden Sukarno
Presiden Soekarno [Foto tangkapan layar Instagram @Soekarno_presidenku]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Istilah Nasakom merupakan akronim dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme, yang memainkan peran signifikan dalam perkembangan pemerintahan Indonesia, khususnya pada masa Demokrasi Terpimpin antara tahun 1959 hingga 1965. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan penting mengenai definisi Nasakom, tujuan yang terkandung di dalamnya, serta tokoh yang menjadi pencetus gagasan tersebut.

Konsep Nasakom diciptakan oleh Ir. Sukarno, proklamator dan Presiden pertama Republik Indonesia. Meskipun istilah ini baru mulai dikenal secara luas menjelang akhir dekade 1950-an, pemikiran mengenai tiga pilar ini telah ada jauh sebelum Sukarno menjabat sebagai presiden, yakni sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Pengenalan Nasakom sebagai konsep formal terjadi pada Februari 1956 ketika Sukarno mengemukakan gagasan ini sebagai tiga pilar utama dalam penerapan Demokrasi Terpimpin. Ketiga pilar tersebut terdiri dari nasionalisme, agama, dan komunisme, yang saling terkait dan diharapkan dapat menyatu dalam kerangka pemerintahan Republik Indonesia.

Sejarah Nasakom

Baca Juga: Ratapan Sukarno Kecil yang Hidup Melarat

Pemikiran Sukarno tentang tiga pilar ini sebenarnya telah berakar dalam dirinya sejak tahun 1926, bertepatan dengan tahun ketika ia mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Dalam sebuah artikel yang diterbitkan di surat kabar Soeoleh Indonesia Moeda pada tahun tersebut, Sukarno menjelaskan bahwa nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme dapat saling melengkapi dan menutupi satu sama lain dalam konteks perjuangan bangsa.

Ia menulis, "Dengan cara yang kurang sempurna, kita berusaha menunjukkan bahwa paham Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme itu, dalam beberapa aspek di negeri jajahan, dapat menutupi satu sama lain." Sukarno menekankan bahwa ketiga paham tersebut merupakan fondasi dari berbagai gerakan rakyat di Asia, termasuk Indonesia.

Pada masa pergerakan nasional, Sukarno melihat ada tiga aliran politik yang dapat dijadikan pilar utama kekuatan rakyat, beserta organisasi yang dapat mewakili masing-masing pilar tersebut. Terlebih lagi, dalam Pemilu 1955, partai-partai yang merepresentasikan ketiga ideologi ini berhasil meraih suara terbanyak, di antaranya adalah PNI, Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pilar pertama, yaitu nasionalis, diwakili oleh Indische Partij (IP), sebuah organisasi yang didirikan pada tahun 1912 oleh Tiga Serangkai: Tjipto Mangoenkoesoemo, Douwes Dekker, dan Soewardi Soerjaningrat, yang lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara.

Pilar kedua adalah kelompok agama yang diwakili oleh umat Islam, yang merupakan kelompok religius terbesar. Dalam hal ini, Sukarno menganggap Sarekat Islam (SI), yang dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto, sebagai wakil yang sah dari kalangan ini.

Baca Juga: Asal Usul Nama Sukarno Sang Proklamator RI

Pilar ketiga adalah Marxisme, yang diwakili oleh PKI, yang pada saat itu masih merupakan ideologi yang belum terlarang.

Menjelang akhir tahun 1926, PKI sempat melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda di Sumatera Barat, tetapi aksi tersebut berhasil digagalkan, dan tokoh-tokoh komunis pun menjadi target penangkapan pemerintah kolonial.

Berakhirnya Nasakom

Setelah periode kemerdekaan, Sukarno kembali mengangkat gagasan tiga pilar ini pada tahun 1956, mengingat bahwa sistem Demokrasi Parlementer yang ada saat itu dinilai tidak cocok untuk Indonesia. Dalam pandangannya, Zulfikri Suleman menyebutkan bahwa Sukarno beranggapan bahwa Demokrasi Parlementer melindungi kepentingan kapitalisme, karena parlemen didominasi oleh kalangan borjuis, sehingga tidak mampu memajukan kesejahteraan rakyat.

Sukarno berpendapat, “Dalam Demokrasi Parlementer, setiap orang dapat menjadi raja, memilih, dipilih, dan membangun kekuasaan untuk menjatuhkan menteri-menteri.” Sebagai alternatif, ia memperkenalkan sistem pemerintahan baru yang disebut Demokrasi Terpimpin, yang berlandaskan pada tiga pilar utama bangsa Indonesia, yaitu Nasionalisme, Agama, dan Komunisme atau Nasakom.

Namun, tidak semua kalangan mendukung konsep Demokrasi Terpimpin dan Nasakom ala Sukarno. Salah satu penentangnya adalah Mohammad Hatta, Wakil Presiden RI saat itu. Rosihan Anwar mencatat bahwa bagi Hatta, Nasakom berarti berkolaborasi dengan PKI, dan ia merasa kurang cocok dengan hal tersebut. Hatta berpendapat bahwa Demokrasi Terpimpin akan menyebabkan konsentrasi kekuasaan kepada presiden, yang terbukti terjadi di era Sukarno. Akibatnya, Hatta kemudian memutuskan untuk mundur dari posisi wakil presiden.

Meskipun demikian, sistem Demokrasi Terpimpin diterapkan bersama dengan konsep Nasakom. Sukarno berupaya menyatukan tiga kekuatan politik terbesar pada saat itu untuk memperkuat posisinya sebagai presiden. Ia bahkan menegaskan bahwa Nasakom adalah manifestasi dari Pancasila dan UUD 1945 dalam konteks politik. Dalam pidatonya pada peringatan Hari Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1961, Sukarno menegaskan:

“Siapa yang setuju dengan Pancasila, harus setuju dengan Nasakom; siapa yang tidak setuju dengan Nasakom, sebenarnya tidak setuju dengan Pancasila,” ujarnya dengan tegas, sebagaimana dikutip dari karya Jan S. Aritonang, "Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia".

“Sekarang saya tambahkan: Siapa yang setuju dengan Undang-Undang Dasar 1945, harus setuju dengan Nasakom; siapa yang tidak setuju dengan Nasakom, sebenarnya tidak setuju dengan Undang-Undang Dasar 1945,” lanjutnya, menunjukkan betapa pentingnya konsep ini bagi legitimasi pemerintahannya.

Namun, peristiwa berdarah yang dikenal sebagai Gerakan 30 September (G30S) pada tahun 1965 mulai mengguncang kepemimpinan Sukarno. G30S PKI menjadi titik awal runtuhnya rezim Orde Lama yang dipimpin oleh Sukarno. Setelah kekuasaan Sukarno semakin tergerus dan posisi kepemimpinan negara beralih ke Soeharto, segala hal yang berhubungan dengan komunisme menjadi terlarang. Dengan demikian, penerapan Nasakom pun berakhir, bersama dengan sistem Demokrasi Terpimpin yang telah diperkenalkannya.

Kontributor : Rishna Maulina Pratama

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI