Suara.com - Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengungkap cara kerja kotor dari perusahaan-perusahaan tambang yang pernah mengelola lahan di Kalimantan. Lokasi tambang tersebut yang kini pengelolaannya diberikan kepada Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Diketahui, Presiden Joko Widodo memberikan NU Izin Usaha Pertambangan (IUP) batu bara di Kalimantan Timur, bekas lahan tambang PT Kaltim Prima Coal (KPC). Sementara Muhammadiyah mendapatkan tambang bekas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) milik PT Adaro Energy Tbk atau PT Arutmin Indonesia.
Peneliti JATAM, Hema Situmorang menyampaikan bahwa kedua pengelola tambang tersebut sama-sama memiliki rekam jejak kerja yang buruk.
"Dalam catatan kita punya jejak-jejak kotor begitu luar biasa. Bahkan sebelumnya, sudah diajukan untuk evaluasi ijin tambang yang ada di Kalimantan ketika akan lakukan perpanjangan kontrak. Baik KPC maupun Arutmin masuk juga di dalamnya," kata Hema dalam webinar 'Menolak Suap Tambang Untuk Ormas Keagamaan', Jumat (27/9/2024).
Baca Juga: Sambil Mesam-mesem, Puan Maharani Jawab Isu Gantikan Jabatan Wapres Gibran Gegara Skandal Fufufafa
Hema mengungkapkan, PT KPC memiliki jejak pelanggaran HAM berupa menggusur warga Dayak Basap yang ada di Kalimantan Timur. KPC juga tercatat memiliki jejak panjang berbagai praktik kejatahan lahan dan pencemaran sungai dan melakukan kekerasan kepada warga lokal.
"Misalnya ada ibu Dahlia pernah alami penganiayaan oleh PT KPC ketika ingin pergi ke ladang," ungkapnya.
Sementara itu, PT Arutmin yang pernah mengelola lahan tambang di Kalimantan Selatan itu juga tidak menerapkan cara kerja yang ramah lingkungan dan merugikan masyarakat lokal. Sehingga mengakibatkan banjir, longsor, ganti rugi tidak seusai, perampasan lahan serta praktik korupsi.
Bukan hanya itu, Hema mengatakan kalau PT Arutmin juga lakukan pelecehan seksual kepada perumpuan. Pelanggaran itu telah dilakukan sejak tambang masuk ke kampung-kampung.
"Bukan hanya eksploitasi seksual tapi juga kekerasan seksual ada catatan kasus perkosaan. Jadi begitu cara kerja memang tidak terhindarkan. Sehingga pasti mengakibatkan konflik karena penolakan terhadap industri ekstraksi tambang begitu besar. Tapi saat menolak, ada kriminaslisasi dan pembungkaman," kata Hema.
Baca Juga: Dinilai Lebih Layak jadi Wapres, Muncul Usulan Komeng Tukar Gulir Jabatan dengan Gibran