Suara.com - Israel dan Hizbullah saat ini tengah saling melakukan serangan satu sama lain di wilayah Lebanon. Saat ini berdasarkan kabar yang diterima dari media setempat, sudah ada ratusan orang tewas akibat serangan udara Zionis.
Tentunya hal ini menandai hari kekerasan paling mematikan sejak serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober yang kini melibatkan Hizbullah dan meningkatkan konflik ke tingkat terburuk dalam hampir satu tahun.
Ribuan keluarga Lebanon saat ini terpaksa mengungsi, dan perang tidak menunjukkan tanda-tanda mereda antara Hizbullah vs Israel.
Konflik antara kelompok yang didukung Iran dan berbasis di Lebanon dan Israel bukanlah hal baru. Keduanya berbagi sejarah berdarah selama lebih dari empat dekade.
Invasi Israel tahun 1982 dan Pembentukan Hizbullah
Akar kebangkitan Hizbullah dan konflik berdarahnya dengan Israel dimulai pada bulan Juni 1982, ketika Israel menginvasi Lebanon sebagai tanggapan atas serangan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang beroperasi dari selatan.
Pendudukan Israel mencapai jantung kota Beirut, membuat PLO terkepung dan akhirnya memaksa mereka untuk mundur.
Namun, kehadiran Israel yang terus berlanjut, bersama dengan kekejaman yang dilakukan sekutunya, terutama pembantaian Sabra dan Shatila, yang menewaskan 2.000 hingga 3.500 pengungsi Palestina dan warga sipil Lebanon, menabur benih perlawanan.
Di antara kelompok yang bangkit sebagai respons adalah Hizbullah, yang awalnya dibentuk oleh para pemimpin Muslim Syiah dengan dukungan Iran.
Baca Juga: Update Serangan Udara Israel di Lebanon: Komandan Lapangan Hamas Hussein Mahmoud al-Nader Tewas
Mewakili populasi Syiah yang terpinggirkan, Hizbullah dengan cepat menjadi milisi yang kuat, merekrut banyak pemuda yang tidak puas di pinggiran selatan Beirut dan Lembah Bekaa.
1983-1985: Pertumpahan Darah dan Perlawanan
Antara tahun 1982 dan 1986, Hizbullah, atau kelompok yang terkait dengannya, disalahkan atas beberapa serangan terhadap pasukan asing di Lebanon.
Yang paling signifikan adalah pemboman barak militer Prancis dan Amerika di Beirut pada bulan Oktober 1983, yang menewaskan lebih dari 300 penjaga perdamaian.
Meskipun diklaim oleh kelompok Jihad Islam, banyak yang percaya bahwa Hizbullah berada di balik serangan tersebut.
Pada tahun 1985, Hizbullah semakin kuat untuk memaksa militer Israel menarik diri dari sebagian besar wilayah selatan Lebanon, meskipun Israel mempertahankan "zona keamanan" di sepanjang perbatasan, diawasi oleh proksinya yang didominasi Kristen, Tentara Lebanon Selatan (SLA).
1992-1996: Kebangkitan Politik Hizbullah
Setelah berakhirnya perang saudara di Lebanon pada tahun 1992, Hizbullah beralih menjadi pemain politik, memenangkan delapan kursi di parlemen Lebanon yang beranggotakan 128 orang.
Selama bertahun-tahun, pengaruhnya semakin berkembang, baik secara politik maupun militer, terutama karena mereka memberikan layanan sosial yang luas di wilayah yang didominasi Syiah.
Pada saat yang sama, perlawanan terhadap pasukan Israel terus berlanjut. Pada tahun 1993, Israel meluncurkan "Operasi Akuntabilitas" sebagai pembalasan atas serangan Hizbullah di Israel utara, yang menyebabkan konflik singkat namun intens yang menewaskan 118 warga sipil Lebanon. Kekerasan meningkat lagi pada tahun 1996 dengan “Operasi Anggur Kemarahan,” ketika Israel berusaha untuk menekan Hizbullah.
2000-2006: Penarikan Israel dan Perang Juli
Pada bulan Mei 2000, Israel secara sepihak menarik diri dari Lebanon selatan setelah hampir dua dekade mendudukinya, sebuah tindakan yang sebagian besar disebabkan oleh perlawanan Hizbullah. Kemenangan ini memperkuat status Hizbullah tidak hanya sebagai milisi, namun juga sebagai kekuatan politik yang tangguh di Lebanon dan simbol perlawanan Arab terhadap Israel.
Pada tahun 2006, ketegangan memuncak ketika Hizbullah menangkap dua tentara Israel, yang menyebabkan Perang Juli. Konflik selama 34 hari tersebut mengakibatkan banyak korban jiwa: 1.200 warga Lebanon dan 158 warga Israel.
2009-2024: Konflik Regional
Pada tahun 2009, Hizbullah bukan lagi sekedar milisi atau gerakan perlawanan dan telah menjadi kekuatan militer dan politik yang dominan di Lebanon. Kekuatan ini semakin ditunjukkan selama perang saudara di Suriah.
Mulai tahun 2012, Hizbullah melakukan intervensi atas nama rezim Assad, sebuah langkah yang membuat mereka kehilangan dukungan dari negara-negara Arab, namun memperkuat aliansi mereka dengan Iran dan memperkuat pengalaman mereka di medan perang.