Suara.com - Muncul isu jika DPR RI akan menambah jumlah komisinya. Ini menyusul imbas rencana bertambahnya jumlah nomenklatur kementerian di era pemerintahan Prabowo-Gibran ke depan.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua DPR RI, Lodewijk F Paulus, menyampaikan penambahan jumlah komisi tersebut baru sebatas wacana saja.
"Wacana itu baru bergulir sebagai wacana," kata Lodewijk di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta dikutip Selasa (24/9/2024).
Kendati begitu, kata dia, jumlah komisi yang ada kekinian bisa saja berkembang. Hal itu untuk menghindari beban berat yang yang ditumpu oleh satu komisi di DPR.
Baca Juga: Ribuan Personel Gabungan Jaga Ketat DPR Hari Ini, Ada Apa?
"Sekarang jumlah komisi ada 11. Apakah berkembang? Ya, pasti berkembang. Kenapa? Karena nanti ada satu, katakan komisi yang beban tugasnya terlalu berat. Contoh yang sekarang beban tugas yang berat itu adalah di Komisi 4. Cukup banyak. Belum lagi ada penambahan badan lembaga," ujarnya.
"Nah, itu tentunya akan disesuaikan mitra-mitra, kan yang terakhir aja mitra dari Kementerian Kehutanan itu kan baru nempel ke mitranya, Komisi 4 kalau nggak salah. Nah ini juga waktu kementerian sudah terbentuk pasti akan dilihat hubungan kerja antara kementerian ini ke mana arahnya," sambungnya.
Sementara itu terkait dengan adanya Tatib DPR RI jika jumlah komisi masing-masing harus diisi oleh setidaknya 50 orang anggota, namun jika bertambah komisi jumlah anggota tak memadai.
Lodewijk menyampaikan, persoalan Tatib masih bisa berubah. Nanti tinggal diatur jumlah anggota dewan yang mengisi setiap komisi.
"Jadi jangankan tatib, undang-undang saja sudah dirubah. Kan setelah undang-undang berubah, tentunya tata tertib juga harus disesuaikan tempatnya berapa? Apakah sekarang kan jumlah anggota DPR 580 ya, mau dibagi berapa? Mau bagi 12, mau bagi 13? Belum lagi AKD-AKD yang lain," ujarnya.
"Kadang-kadang kan teman-teman ngeliat pas kita rapat kok kosong. Saya tadinya juga komplain gitu kok kosong. Karena pada satu saat yang bersamaan, AKD yang lain juga rapat. Jadi gak bisa mereka, apa harus kesini dulu pindah lagi kesini, Karena satu orang aja bisa sampai tiga beban AKD yang dia terima, dan itu pasti ada tugas-tugas," sambungnya.
Sebelumnya, DPR RI akhirnya mengesahkan Revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menjadi undang-undang. Adanya revisi UU Kementerian Negara mengubah jumlah nomenklatur kementerian.
Ksepakatan ini diambil dalam Rapat Paripurna ke-7 Masa Persidangan 2023-2024 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (19/9/2024).
Pengesahan itu dipimpin langsung oleh Wakil Ketua DPR RI Lodewijk F Paulus. Seluruh fraksi di DPR RI pun menyatakan persetujuannya terhadap RUU Kementerian Negara menjadi UU.
"Kami akan menanyakan kepada seluruh anggota, apakah rancangan undang-undang tentang perubahan UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dengan penyempurnaan rumusan seperti di atas apakah dapat disetujui?," kata Lodewijk.
"Setuju," jawab anggota DPR yang hadir.
Adapun dalam RUU ini, hal utama yang diubah adalah perubahan penetapan jumlah kementerian. Kekinian jumlah kementerian tak lagi dibatasi 34 kementerian, tapi diserahkan kepada presiden sesuai kebutuhan dengan mempertimbangkan efektivitas pemerintahan.
"Jumlah keseluruhan kementerian yang dibentuk sebagaimana dimaksud dalam pasal 12, pasal 13, dan pasal 14 ditetapkan sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan oleh presiden," bunyi Pasal 15 RUU Kementerian Negara.
Kemudian, terdapat penambahan dua pasal. Yaitu Pasal 6 dan Pasal 9A.
"Dalam hal tertentu, pembentukan Kementerian tersendiri dapat didasarkan pada sub urusan pemerintahan atau perincian urusan pemerintahan sepanjang memiliki keterkaitan ruang lingkup urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)." bunyi Pasal 6.
"Dalam hal terdapat undang-undang yang menuliskan, mengatur dan/ mencantumkan unsur organisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9, presiden dapat melakukan perubahan unsur organisasi dimaksud dalam peraturan pelaksanaan sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan," bunyi Pasal 9A.