Pemilu Ramah Disabilitas Masih Jauh Panggang dari Api

Senin, 23 September 2024 | 11:58 WIB
Pemilu Ramah Disabilitas Masih Jauh Panggang dari Api
Pemilu Ramah Disabilitas - Pemilu Ramah Disabilitas Masih Jauh Panggang dari Api (Suara.com/Ema)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Masih terekam jelas dalam memori Siti Lestari saat ia kehilangan hak pilihnya di Pemilu sekitar tahun 2000-an. Sebagai penyandang disabilitas fisik pengguna kursi roda, Siti memerlukan akses jalan yang mulus tanpa bebatuan untuk memudahkan roda-roda di kursinya berputar. Meskipun namanya masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), kenyataannya Siti yang tinggal di Kulon Progo ini tetap tidak bisa menyalurkan hak pilihnya. Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang didirikan terlalu jauh dari rumahnya dan akses jalan yang harus ditempuh cukup terjal dan berbatu.

Bagi sebagian orang, akses jalan terjal dan berbatu mungkin bukanlah persoalan, namun lain halnya dengan Siti yang beraktivitas sehari-hari menggunakan kursi roda. Sejak usia 10 tahun Siti mengalami kelumpuhan pada separuh anggota tubuhnya akibat gangguan saraf pascaterjatuh dari ketinggian. Kondisi ini membuatnya harus menghabiskan sisa hidupnya berada di atas kursi roda untuk memudahkan mobilitas.

Kondisi TPS yang tidak aksesibel untuk disabilitas pengguna kursi roda membuat Siti harus menyerah pada keadaan. Ia terpaksa batal nyoblos meskipun sudah terdata sebagai pemilih.

“Kan’ saya pakai kursi roda jadi sulit ke sananya (TPS). Ibu saya bilang ‘Wis nduk ra sah nyoblos wae’ (Sudahlah nak, tidak usah nyoblos saja). Ya sudah, tidak berangkat,” ujar Siti saat berbincang dengan Suara.com, Senin (12/8/2024).

Ilustrasi pemilih disabilitas pengguna kursi roda di TPS yang memiliki undakan di wilayah Sabdodadi, Bantul (Dok. SIGAB Indonesia)
Ilustrasi pemilih disabilitas pengguna kursi roda di TPS yang memiliki undakan di wilayah Sabdodadi, Bantul (Dok. SIGAB Indonesia)

Di periode Pemilu berikutnya lima tahun kemudian, Siti kembali memperjuangkan hak pilihnya. Saat itu, lokasi TPS sudah semakin dekat dengan kediamannya. Akses jalan tidak lagi terjal dan berbatu. Namun, setibanya di lokasi TPS pada hari pemungutan suara, Siti kembali mengalami kesulitan untuk menyalurkan suaranya. TPS yang didirikan memiliki beberapa undakan cukup tinggi sehingga ia tidak bisa menuju bilik suara dengan kursi rodanya. Di sisi lain, TPS tersebut juga tidak memiliki bidang miring (ramp). Setelah petugas TPS memutar otak, akhirnya para petugas berinisiatif mendatanginya untuk melakukan pencoblosan di luar bilik.

“Sulit kalau harus menggotong kursi roda saya naik (ke atas undakan). Jadi, ya sudah di depan umum nyoblosnya, nggak pakai bilik ditutupi gitu,” ungkap Siti.

Siti diwawancara untuk liputan kolaborasi “Conflict-Sensitive Reporting” yang dihelat Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) bekerja sama dengan UNESCO melalui program SocialMedia4Peace dan dibiayai oleh the European Union. Tim kolaborasi terdiri dari jurnalis Independen.id, Kompas.com, Suara.com, Media Indonesia, dan Inibalikpapan.com. Tim mengungkap berbagai dinamika kelompok rentan, salah satunya disabilitas, dalam pilkada. Kelompok rentan diketahui merupakan masyarakat yang memiliki risiko lebih tinggi mengalami eksploitasi, ketidaksetaraan, dan diskriminasi selama Pilkada.

Dalam kolaborasi ini, jurnalis Kompas.com mengungkap soal diskriminasi terhadap perempuan selama Pilkada di Sukoharjo, Jawa Tengah. Jurnalis Independen.id melaporkan tentang politik uang terhadap warga miskin di Kota Surabaya, Jawa Timur. Jurnalis Media Indonesia menulis tentang diskriminasi terhadap Orang dengan HIV/AIDS di Pilkada Banyumas, Jawa Tengah. Jurnalis Inibalikpapan.com, media online yang berbasis di Kalimantan, memotret kehidupan masyarakat adat Suku Balik yang terdampak pembangunan IKN selama Pilkada di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

Penyandang disabilitas netra dan staf SIGAB Indonesia, Ajiwan Arief Hendrardi (Suara.com/Chyntia Sami)
Penyandang disabilitas netra dan staf SIGAB Indonesia, Ajiwan Arief Hendrardi (Suara.com/Chyntia Sami)

Pengalaman tak menyenangkan lainnya diungkapkan oleh Ajiwan Arief Hendrardi, disabilitas netra low vision asal Kota Yogyakarta pada Pemilu 2024. Selama ini Ajiwan mengaku telah mendapatkan pelayanan yang cukup baik dari petugas TPS selama proses pencoblosan. Petugas TPS selalu memberikan tawaran pendampingan selama proses pencoblosan di bilik suara.

Meski demikian, Ajiwan yang mengalami gangguan penglihatan sejak lahir ini tetap mengalami kesulitan mencoblos kertas suara, terutama untuk surat suara DPR RI dan DPRD provinsi maupun kabupaten/kota. Ukuran tulisan di lembar kertas suara dirasa terlalu kecil sehingga tidak ramah untuk disabilitas. Ditambah lagi, pencahayaan di TPS juga kerap kali terabaikan. Bagi Ajiwan yang memiliki tingkat penglihatan rendah, pencahayaan TPS sangat penting untuk memudahkannya memilih nama wakil rakyat yang ada di kertas suara.

“Itu barisnya (di kertas surat suara) banyak banget. Effort-nya cukup besar, saya harus angkat-angkat kertas suara (supaya terlihat jelas nama calonnya), harus ‘ngepasin’ gambar ke bantalan, itu cukup effort,” ungkap Ajiwan.

Padahal, DIY meraih penghargaan dari Kementerian Dalam Negeri RI atas keberhasilannya dalam menyampaikan laporan kelancaran penyelenggaraan Pemilu 2024 di daerah. DIY juga menjadi provinsi pertama di Indonesia alias inisiator yang menciptakan konsep template braille untuk pemilih disabilitas. Namun, di balik pencapaian gemilang ini, masih ada suara minoritas yang merasa terabaikan dalam proses pemungutan suara.

Dodi Kaliri, penyandang disabilitas fisik pengguna kruk asal Sleman, merasa penyelenggaraan Pemilu telah mengalami perbaikan dari waktu ke waktu. Meski demikian, Dodi melihat adanya kemunduran dalam hal transparansi data pemilih pada Pemilu kali ini.

Pada Pemilu sebelumnya, pemilahan data pemilih umum dan disabilitas sudah mulai dilakukan. Saat hari H pemilihan, ia juga menemukan kode khusus untuk disabilitas tercantum di Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang ditempel di dinding TPS. Hal ini memudahkan petugas untuk mengetahui jumlah dan ragam disabilitas pemilih di TPS tersebut, sehingga mereka bisa siap melayani sesuai kebutuhan. Namun, pada Pemilu 2024, data disabilitas tersebut justru tidak dimunculkan. Dodi menilai ini sebagai suatu kemunduran yang dapat menyebabkan miskomunikasi antara petugas di TPS pada hari pemungutan suara.

Ilustrasi pemilih disabilitas pengguna kruk di TPS yang memiliki undakan di wilayah Nanggulan, Kulon Progo (Dok. SIGAB Indonesia)
Ilustrasi pemilih disabilitas pengguna kruk di TPS yang memiliki undakan di wilayah Nanggulan, Kulon Progo (Dok. SIGAB Indonesia)

"Ketika data tidak dimunculkan ragam disabilitasnya, ini bisa menjadi persoalan. Iya kalau petugas TPS kenal dengan warganya, kalau yang tidak kenal, dia tidak akan tahu kebutuhan disabilitas apa," ungkap Dodi.

Misalnya ada seorang pemilih disabilitas tuli yang hadir di TPS. Jika petugas TPS tidak mengetahui keberadaan pemilih disabilitas tuli tersebut, mereka mungkin akan terus memanggil namanya untuk masuk ke dalam bilik, namun si pemilih tidak akan mendengar panggilan tersebut karena keterbatasan yang dimilikinya. Menurut Dodi, hal detail inilah yang sebaiknya diperhatikan betul oleh penyelenggara Pemilu untuk memberikan rasa adil bagi para penyandang disabilitas.

"Penyelenggaraan sudah relatif baik, hanya pemantauan masih kurang. Kalau lihat dari pelanggaran Pemilu dalam rangka Pemilu ramah difabel itu pelanggarannya lebih bayak di tingkat TPS," imbuhnya.

Ini dialami Inna Hanifah, seorang pemilih disabilitas tuli asal Gunungkidul, yang menceritakan betapa sulitnya menyalurkan suara. Selama ini, ia selalu dimasukkan ke dalam DPT umum, bukan DPT khusus disabilitas yang didata ragam disabilitasnya. Petugas pemutakhiran data yang datang ke rumahnya hanya mendata jumlah anggota keluarga yang sudah memenuhi usia pemilih tanpa menanyakan kebutuhan khusus Inna sebagai penyandang disabilitas. Secara fisik, Inna memang terlihat seperti pemilih umum tanpa kebutuhan khusus.

Kesulitan ini semakin terasa ketika ia baru pindah ke Gunungkidul beberapa tahun lalu; tidak ada warga yang mengenalnya, sehingga tidak ada yang mengetahui kebutuhan khususnya. Wanita berusia 41 tahun ini selalu didampingi oleh ibunya yang membantunya saat pencoblosan dan memberikan arahan.

“Kalau di daerah boro-boro ada identifikasi gitu, cuma didata dapat DPT aja tidak ada khusus disabilitas,” keluh Inna.

Belum Ada Data Induk Disabilitas

Terkait data disabilitas, Indonesia memang masih jauh dari kata ideal. Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki satu data induk yang merekam jumlah dan ragam disabilitas di berbagai penjuru negeri. Setiap lembaga atau kementerian mengeluarkan data berdasarkan versi dan kebutuhan masing-masing.

Anggota Forum Disabilitas DIY Farid Bambang Siswantoro (Suara.com/Chyntia Sami)
Anggota Forum Disabilitas DIY Farid Bambang Siswantoro (Suara.com/Chyntia Sami)

Untuk wilayah DIY, Dinas Sosial mencatat sekitar 30 ribu penyandang disabilitas. Mereka yang terdata termasuk dalam kategori disabilitas yang memerlukan penanganan khusus, seperti gelandangan hingga pelaku atau korban kekerasan, sehingga membutuhkan layanan kesejahteraan sosial.

Berbeda dengan Dinas Kesehatan, yang mencatat data disabilitas berdasarkan masalah medis yang dimiliki dan kebutuhan medis. Sementara itu, KPU juga telah memiliki data disabilitas, namun data ini didasarkan pada disabilitas yang berusia di atas 17 tahun atau sudah menikah, serta bukan anggota TNI/Polri. Padahal, menurut estimasi BPS, jumlah difabel di Indonesia diperkirakan mencapai 8 persen dari total penduduk. Sementara itu, Bappenas memiliki estimasi yang berbeda, yaitu sekitar 14 persen dari jumlah penduduk seluruh Indonesia.

“Jadi, ketika kita menyebutkan berapa jumlah difabel, kisarannya berada antara 8-14 persen dari total penduduk di manapun posisinya,” kata anggota Forum Disabilitas DIY Farid Bambang Siswantoro.

Farid memerinci hitungannya terkait jumlah disabilitas di Yogyakarta. Berdasarkan data Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015, jumlah proyeksi jumlah penduduk DIY sebanyak 4.126.444 jiwa. Apabila mengikuti perhitungan estimasi BPS jumlah disabilitas sebesar 8 persen dari total penduduk, maka jumlah disabilitas di DIY sebanyak 330.115 jiwa dari semua usia.

Hasil survei yang dilakukan oleh Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB Indonesia), Pusat Rehabilitasi Yakkum, dan Forum Masyarakat Pemantau Untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (FORMASI Disabilitas) juga menjadi pembuktian bahwa masih banyak disabilitas yang tidak terakomodasi dalam Pemilu. Survei menunjukkan sebanyak 81 persen pemilih pemula disabilitas seluruh Indonesia berusia 17-21 tahun tidak terdaftar dalam DPT. Data ini didasarkan pada hitungan proyeksi data BPS Survei Long Form Sensus 2020 berdasarkan asumsi pertumbuhan linier dan setiap individu dari rentang usia 10-14 tahun dan 15-19 tahun bertambah satu tahun setiap tahunnya tanpa memperhitungkan faktor-faktor seperti kematian atau migrasi.

Data ini memperlihakan hak-hak disabilitas dalam menyuarakan suaranya di Pemilu belum bisa terakomodasi dengan baik oleh penyelenggara. Belum lagi temuan lain menunjukkan sebanyak 70 persen di antaranya masih terdaftar sebagai pemilih biasa, bukan sebagai pemilih disabilitas.

"Ini menjadi poin penting yang harus menjadi perhatian bagi penyelenggara pemilu. Sangat dimungkinkan pemilih disabilitas mengalami hambatan untuk mengakses setiap tahapan proses pemilu karena masih terdata sebagai pemilih biasa," ujar Ajiwan, disabilitas netra yang juga menjadi staf SIGAB Indonesia.

infografis diskriminasi disabilitas di pemilu (Suara.com/Chyntia Sami)
infografis diskriminasi disabilitas di pemilu (Suara.com/Chyntia Sami)

Persoalan Pelik Disabilitas

Keterbukaan data bukanlah satu-satunya tantangan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas dalam menyuarakan hak pilih mereka. Sebagai individu yang telah cukup umur atau sudah menikah, mereka belum tentu mendapatkan hak pilih dengan terdaftar di DPT. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak keluarga yang menganggap disabilitas sebagai aib, sehingga mereka cenderung menyembunyikan keberadaan anggota keluarga yang disabilitas. Hal ini berdampak pada ketidakakuratan dalam pendataan daftar pemilih.

Di lapangan juga masih ditemukan keluarga yang beranggapan bahwa penyandang disabilitas tidak perlu menyalurkan suara, cukup diwakili oleh anggota keluarga lainnya yang dianggap normal. Bahkan, ada pula individu disabilitas yang menolak disebut disabilitas karena tidak ingin dianggap sebagai seseorang dengan keterbatasan. Fenomena ini banyak terjadi, terutama di wilayah pedesaan dengan tingkat pemahaman tentang disabilitas dan hak suara masih rendah.

"Jadi, problem yang dihadapi disabilitas itu macam-macam. Sebagai pemilih belum tentu memiliki hak pilih (terdaftar dalam DPT), mereka yang sudah didata juga belum tentu bisa datang ke TPS (karena pertimbangan keluarga)" ungkap Farid.

Ilustrasi alat bantu (template) braille untuk disabilitas netra (Dok. SIGAB Indonesia)
Ilustrasi alat bantu (template) braille untuk disabilitas netra (Dok. SIGAB Indonesia)

Situasi semakin kompleks bagi penyandang disabilitas mental dan mereka yang tinggal di tempat rehabilitasi atau panti. Disabilitas mental harus menjalani pengobatan khusus sebelum diizinkan memberikan hak suara. Beberapa hari sebelum pencoblosan, mereka akan diberikan obat dan ditenangkan oleh petugas kesehatan, sehingga pada hari pencoblosan mereka siap secara mental. Farid, yang pernah menjadi anggota KPU DIY periode 2013-2019, mengakui bahwa menjamin hak suara bagi penyandang disabilitas mental bukanlah perkara mudah, terlebih bagi mereka yang tinggal di tempat rehabilitasi.

Farid bercerita bahwa pada Pemilu 2014 lalu, ia bersama penyelenggara KPU pernah berupaya memastikan pemilih disabilitas di Pusat Rehabilitasi Pundong dapat menyalurkan hak suaranya. Saat itu, ada 80 penyandang disabilitas yang telah didata dalam DPT dan terdaftar di TPS sekitar tempat rehabilitasi. Namun, meskipun telah terdaftar, pada hari pencoblosan mereka tidak dapat menyalurkan hak suaranya karena tidak ada petugas pendamping yang mendampingi mereka.

"Disana (pusat rehabilitasi) ada aturan manakala disabilitas keluar harus ada pendamping, sementara pendampingnya banyak yang libur menjadi panitia TPS. Hari H tersisa 5 orang pendamping dan 3 orang tukang kebun, nggak mungkin mendampingi (80 orang) keluar. Jadi, problemnya banyak," ungkapnya.

Farid menambahkan, data 80 orang disabilitas di tempat rehabilitasi tersebut hanya berasal dari satu lokasi saja. Padahal, di DIY terdapat banyak tempat rehabilitasi, baik milik pemerintah maupun swasta. Karena itu, sangat mungkin bahwa banyak penyandang disabilitas di DIY yang kehilangan hak suaranya di setiap Pemilu.

Dari TPS Tidak Ramah Disabilitas hingga Anggaran Terbatas

Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat dan Hubungan Masyarakat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Lolly Suhenty menyampaikan adanya temuan sebanyak 12.284 TPS di Indonesia tidak menyediakan template braille, dan di 5.836 TPS ditemui pendamping pemilih disabilitas tidak menandatangani surat pernyataan sebagai pendamping.

Bawaslu memberikan rekomendasi kepada Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) agar melengkapi perlengkapan berupa alat bantu disabilitas netra di TPS dan memastikan pendamping pemilih penyandang disabilitas agar menandatangani surat pernyataan pendamping.

Selain itu, ditemukan sejumlah fakta di lapangan terkait Pemilu 2024, di mana kelompok marginal, termasuk disabilitas, tidak sepenuhnya terfasilitasi sebagai pemilih. Beberapa pemilih disabilitas tidak dicantumkan ragam disabilitasnya, pemilih di wilayah pemekaran menghadapi perbedaan dalam administrasi wilayah dan kependudukan sehingga yang dapat menyebabkan hilangnya hak pilih mereka.

Lolly menegaskan, mengabaikan kaum marginal yang memenuhi syarat sebagai pemilih adalah bentuk pelanggaran administrasi. Jika terdapat pengabaian terhadap hak pilih kaum marginal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, Bawaslu menyampaikan saran perbaikan kepada KPU agar nama-nama pemilih yang memenuhi syarat tersebut dimasukkan ke dalam daftar pemilih.

“Jika KPU tidak menindaklanjuti saran perbaikan Bawaslu, Bawaslu menjadikan temuan dugaan pelanggaran administrasi, untuk selanjutnya dilakukan mekanisme penanganan pelanggaran,” ujar Lolly dalam wawancara tertulis.

Ketua Bawaslu DIY Mohammad Najib (Suara.com/Chyntia Sami)
Ketua Bawaslu DIY Mohammad Najib (Suara.com/Chyntia Sami)

Sementara itu, Ketua Bawaslu DIY Mohammad Najib, menilai bahwa Pemilu ramah disabilitas di DIY belum mencapai standar ideal, karena masih banyak temuan masalah di lapangan. Ia menyoroti bahwa data DPT hasil Pencocokan dan Penelitian Data Pemilih (Coklit) yang disusun oleh KPU tidak sepenuhnya mencerminkan realitas di lapangan, terutama terkait ragam disabilitas.

Najib menambahkan, TPS dengan aksesibilitas yang memadai untuk pemilih disabilitas memang tidak perlu didirikan jika tidak ada pemilih disabilitas di TPS tersebut. Namun, masalah utamanya adalah data dasar yang digunakan sebagai acuan saat proses Coklit masih tidak lengkap.

"Seringkali petugas KPPS merasa tidak ada disabilitas disitu, padahal ternyata ada, sehingga dia memperlakukan semua pemilih sebagai masyarakat normal tentu problemnya di aksesibilitasnya," ujar Najib.

Menghadapi Pilkada 2024, Najib memprediksi angka partisipasi pemilih disabilitas berpotensi lebih rendah lagi dibandingkan Pemilu 2024. Pasalnya, mesin politik Pilkada terbatas tidak sebesar Pilpres. Terlebih lagi, pemilih hanya berasal dari warga lokal, tidak ada pemilih yang menumpang nyoblos.

Ilustrasi pemilih disabilitas dibantu petugas TPS wilayah Sedayu, Bantul (Dok. SIGAB Indonesia)
Ilustrasi pemilih disabilitas dibantu petugas TPS wilayah Sedayu, Bantul (Dok. SIGAB Indonesia)

Solusi yang dilakukan oleh Bawaslu DIY adalah dengan memperkuat sosialisasi di tengah masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dalam menyalurkan hak pilih. Hanya saja Bawaslu mengeluhkan anggaran yang didapatkan sangat kecil sehingga harus mengorbankan program pendidikan untuk masyarakat. Bahkan, di Gunungkidul sama sekali tidak memfasilitasi sosialisasi untuk masyarakat karena anggaran terbatas.

"Dalam hal anggaran terbatas pasti yang dikorbankan untuk pendidikan masyarakat, nggak mungkin mengurangi hak penyelenggara dan logistik karena semua sudah ada standar sehingga yang paling mungkin mengurangi hak publik untuk mendapatkan informasi. KPU pasti mengalami hal ini," ungkapnya.

Persoalan ini, lanjut Najib, bukan hanya menjadi tanggungjawab penyelenggara Pemilu saja melainkan juga pemerintah. Pemerintah harus memiliki fokus yang sama untuk meningkatkan pendidikan masyarakat agar partisipasi mereka dalam Pemilu bisa dimaksimalkan.

"Itu menjadi tugas kita semua, meskipun terlepas dari konteks pemilih, itu bukan semata-mata tugas kami penyelenggara," imbuhnya.

Bayar Dosa Pemilu 2024

Komisi Pemilihan Umum (KPU) DIY mencatat ada 30.503 pemilih disabilitas pada Pemilu 2024. Jika dilihat berdasarkan jenis disabilitas, data tersebut mencakup 12.996 disabilitas fisik, 1.553 disabilitas intelektual, 9.304 disabilitas mental, 2.603 disabilitas sensorik wicara, 1.178 disabilitas sensorik rungu, dan 2.869 disabilitas sensorik netra.

Menurut distribusi wilayah, jumlah disabilitas terbanyak ada di Kabupaten Gunungkidul sebanyak 7.956 disabilitas, Kabupaten Sleman 7.615 disabilitas, Kabupaten Bantul 6.860 disabilitas, Kabupaten Kulon Progo memiliki 4.721 disabilitas dan Kota Yogyakarta 3.351 disabilitas. Meskipun begitu, KPU DIY mengungkapkan bahwa dari total disabilitas yang terdaftar dalam DPT di wilayah Yogyakarta, hanya 31,64 persen atau 9.650 disabilitas yang datang ke TPS untuk menyalurkan hak pilih mereka.

Data pemilih disabilitas di DIY pada Pemilu 2024 (Olah data KPU RI/Chyntia Sami)
Data pemilih disabilitas di DIY pada Pemilu 2024 (Olah data KPU RI/Chyntia Sami)

Jumlah DPT disabilitas pada Pemilu 2024 terbilang lebih tinggi dibandingkan pada Pemilu 2019. Tercatat ada sebanyak 11.445 pemilih disabilitas pada Pemilu 2019 di DIY. Pemilh disabilitas terbanyak berada di Kabupaten Sleman sebanyak 2.963 pemilih, Kabupaten Gunungkidul 2.518 pemilih, Kabupaten Kulon Progo 2.293 pemilih, Kabupaten Bantul 1.974 pemilih dan Kota Yogyakarta 1.697 pemilih. Walaupun jumlah DPT pemilih disabilitas pada Pemilu 2019 lebih rendah dibandingkan Pemilu 2024, namun angka partisipasinya justru lebih tinggi, yakni sebesar 40 persen atau 4.550 pemilih disabilitas yang terdaftar di DPT dan menggunakan hak pilihnya.

Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan SDM KPU DIY, Sri Surani mengatakan, tingkat partisipasi rendah dari pemilih disabilitas di Pemilu 2024 menjadi catatan penting agar bisa diperbaiki di Pilkada 2024. Ia memerinci beberapa persoalan yang ditemui di lapangan terkait pemilih disabilitas, dimulai dari awal pendataan pemilih disabilitas yang diakuinya memang belum maksimal.

Rani mendapatkan laporan dari komunitas disabilitas terkait banyaknya disabilitas yang masuk dalam daftar pemilih non disabilitas. Hal ini disebabkan pada tahap awal pendaftaran, Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih) belum benar-benar memilah dengan tepat mana pemilih umum dan disabilitas sesuai ragamnya. Oleh karena itu, Rani meminta bantuan kepada komunitas disabilitas dan juga masyarakat umum untuk ikut membantu memberikan data dan menyampaikan situasi yang sebenarnya terkait dengan kondisi disabilitas di dalam keluarga masing-masing.

"Ini catatan berharga bagi kami untuk memperbaiki layanan. Pemahaman Pantarlih jadi penting karena tahap pendaftaran jadi kunci utama disabilitas bisa menggunakan hak pilih," ujar Rani saat dihubungi.

Data pemilih disabilitas di DIY pada Pemilu 2019 (Olah data KPU RI/Chyntia Sami)
Data pemilih disabilitas di DIY pada Pemilu 2019 (Olah data KPU RI/Chyntia Sami)

Selain itu, masih banyak ditemui individu disabilitas yang belum memiliki KTP, khususnya disabilitas mental yang memiliki perbedaan umur kalender dengan umur mentalnya. Pemahaman masyarakat dalam memandang individu disabilitas juga menjadi persoalan. Masih banyak keluarga yang malu apabila memiliki anggota keluarga disabilitas sehingga mereka cenderung menyembunyikannya.

Dari sisi akesibiltas TPS, Rani menilai penyediaan TPS yang ramah disabilitas sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya. Meski demikian, ia mengakui menemui beberapa kendala untuk mewujudkan TPS yang benar-benar aksesibel untuk disabilitas. Untuk wilayah perkotaan, timnya kesulitan mencari lahan yang cukup luas untuk dijadikan sebagai TPS, sementara di daerah pedesaan juga mengalami tantangan karena kondisi geografi wilayah cenderung perbukitan atau pegunungan.

Untuk menyiasatinya, Rani sudah memberikan instruksi kepada KPU tingkat kota dan kabupaten untuk menyoroti TPS dengan pemilih disabilitas. Nantinya KPU provinsi akan melakukan pemantauan terhadap TPS tersebut untuk menjamin aksesibilitas bagi pemilih disabilitas. Pemahaman petugas TPS terkait kebutuhan masing-masing ragam disabilitas juga menjadi kunci penting memberikan pelayanan maksimal bagi pemilih disabilitas. Cara interaksi antara petugas dengan disabilitas akan menentukan pelayanan di TPS. KPU DIY telah merancang panduan khusus bagaimana cara petugas beriteraksi dengan pemilih disabilitas sesuai ragamnya, termasuk cara menggunakan template braille untuk pemilih disabilitas. Sehingga meskipun tidak ada kode disabilitas pada daftar DPT yang ditempel di TPS, ketika petugas sudah memahami betul daftar DPT yang dilaporkan dari Pantarlih maka miskomunikasi data bisa diminimalisir.

"Itu yang akan kami lakukan. Ibaratnya kalau orang Jawa sebagai bayar dosa di Pemilu 2024," imbuhnya.

Persentase pemilih disabilitas di DIY (Olah data KPU RI/Chyntia Sami)
Persentase pemilih disabilitas di DIY (Olah data KPU RI/Chyntia Sami)

Belum Ramah Disabilitas

Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati menilai Pemilu di Indonesia masih belum bisa dikatakan sebagai Pemilu ramah disabilitas. Meskipun penyelenggara Pemilu telah mendeklarasikan Pemilu 2024 fokus inklusivitas, namun realita di lapangan masih ada kelompok disabilitas yang belum memiliki akses penuh untuk bisa memilih. Misalnya disabilitas mental, mereka masih menghadapi stigma masyarakat yang menilai disabilitas mental sama seperti orang gila. Padahal, spektrum disabilitas sangat luas.

"Ini terjadi di Pemilu 2019 dan 2024 yang mengakibatkan adanya diskriminasi terhadap kelompok disabilitas," ujar Khoirunnisa.

Prinsip inklusivitas, lanjut Khoirunnisa, merupakan salah satu prinsip Pemilu yang dicantumkan dalam undang-undang, sehingga penyelenggara wajib berpedoman pada prinsip tersebut. Hal ini juga berlaku pada eksekusi di lapangan, bukan hanya sebatas dalam menerbitkan aturan atau pedoman saja. Penyelenggara harus betul-betul mengawasi untuk memastikan setiap warga negara yang sudah memiliki hak pilih, baik kelompok marginal maupun bukan, dapat memberikan hak pilihnya.

Khoirunnisa menekankan pada data pemilih sebagai kunci pemilahan pemilih disabilitas. Penyelenggara Pemilu harus memastikan data pemilih disabilitas akurat, baik secara jumlah maupun ragam disabilitasnya. Data ini memegang peranan sangat krusial untuk menentukan fasilitas yang tepat kepada setiap individu disabilitas sesuai dengan ragam disabilitasnya.

Di sisi lain, Dodi mengapresiasi upaya penyelenggara KPU membuat pedoman untuk menciptakan Pemilu ramah disabilitas. Hanya saja, Ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Mlati, Sleman ini berharap penyelenggara juga mengawasi praktik di lapangan.

"Data itu penting, jadi modal dasarnya. Di sisi lain, KPU dan Bawaslu juga harus melihat, mengawasi TPS apakah sudah cukup aksesibel untuk kami disabilitas," ujarnya.

Liputan Kolaboratif

Liputan kolaborasi ‘Conflict-Senstivie Reporting’ Pilkada 2024 ini menyoroti isu-isu yang dihadapi oleh lima kelompok marginal: masyarakat adat, orang dengan HIV/AIDS (ODHA), perempuan, penyandang disabilitas, dan masyarakat miskin perkotaan. Dalam hiruk-pikuk kampanye dan persaingan politik, kelompok-kelompok marginal yang rentan terpinggirkan tersebut seringkali terlupakan, sehingga membutuhkan perhatian khusus. Selain itu, ada kelompok marginal yang hanya dimanfaatkan dan dieksploitasi untuk kepentingan politik tertentu.

Dalam liputan ODHA dalam Pilkada Banyumas, jurnalis Media Indonesia menemukan fakta yang menunjukkan stigma terhadap ODHA masih terjadi. Di dalam proses Pilkada, ODHA masih ada yang gagal mencoblos. Sebagian besar masih bisa menyalurkan hak pilih karena tidak open status sebagai ODHA. ODHA juga harus membuang jauh-jauh hak untuk dipilih. Kondisi masih belum memungkinkan ODHA menjadi pejabat publik dengan cara dipilih langsung.

Selain itu, para penyelenggara Pemilu belum pernah mengagendakan kegiatan khusus terkait Pilkada untuk ODHA. Selama dua kali pelaksanaan Pilkada Banyumas pada 2013-2018 maupun 2018-2023, para calon juga tidak pernah membawa isu kaum marginal, salah satunya ODHA. Hak-hak mereka masih terpinggirkan dan belum menjadi agenda dalam Pilkada.

Jurnalis Independen.id, yang membahas praktik politik uang selama Pilkada di Surabaya, menemukan praktik ini menargetkan warga miskin. Modus yang digunakan telah berkembang jauh, dari pada awalnya hanya berupa “serangan Subuh” Modusnya mulai dari pemberian uang tunai, sembako, hingga janji pembangunan. Warga miskin yang rentan menjadi sasaran empuk para politisi yang memanfaatkan uang untuk meraih suara.

Politik uang juga ditemukan berdampak terhadap kepercayaan warga atas sistem politik. Warga miskin merasa dibohongi oleh janji-janji para politisi yang tak kunjung terwujud. Meskipun ada upaya pengawasan dan pencegahan dari Bawaslu, tantangannya sulit menangkap pelaku politik uang karena bukti-bukti di lapangan yang tak memenuhi syarat.

Dari IKN, jurnalis IniBalikpapan.com menceritakan kisah masyarakat adat Suku Balik di lingkar Ibu Kota Nusantara (IKN) di Sepaku, Penajam Paser Utara, yang merasa kian terpinggirkan, justru karena Pilkada, dalam proses pembangunan besar-besaran di wilayah mereka. Mereka khawatir akan kehilangan hak atas tanah dan identitas budaya, sementara komunikasi dengan pemerintah minim dan pengakuan resmi atas keberadaan mereka belum didapatkan. Menjelang Pilkada 2024, aspirasi mereka tak mendapat perhatian dari para calon pemimpin, meski mereka berharap hak-hak adat bisa diperjuangkan.

Jurnalis Kompas.com menyoroti soal perempuan Sukoharjo yang sering dijadikan sarana meraup suara oleh para calon kepala daerah. Kaum perempuan didekati oleh calon kepala daerah atau timsesnya agar mau menerima program yang mereka tawarkan dan akhirnya memilih sang calon sebagai kapada daerah. Apalagi, di Sukoharjo pemilih perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki.

Di berbagai pertemuan ibu-ibu, seperti arisan PKK, posyandu, atau pengajian disusupi permintaan mencoblos calon tertentu sejak jauh-jauh hari. Namun, setelah pesta demokrasi berakhir, nyatanya hampir semua program yang ditawarkan saat kampanye tak ada yang menyentuh kepentingan perempuan.

*Artikel ini diproduksi dalam kerangka proyek UNESCO Social Media 4 Peace, yang didanai oleh Uni Eropa. Hasil liputan jurnalistik ini menjadi tanggung jawab penerbit, tidak mencerminkan pandangan UNESCO atau Uni Eropa.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI