Kekeliruan Konstruksi Sosial Di Masyarakat Disebut Turut Sebabkan Korban KDRT Pilih Bungkam

Jum'at, 20 September 2024 | 20:09 WIB
Kekeliruan Konstruksi Sosial Di Masyarakat Disebut Turut Sebabkan Korban KDRT Pilih Bungkam
Ilustrasi KDRT. (Pexels)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Cara masyarakat Indonesia dalam memandang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dinilai masih menormalisasi tindakan tersebut. Konstruksi sosial seperti itu yang akibatnya membuat korban KDRT membiarkan tindakan kekerasan karena merasa sebagai aib keluarga.

Pegiat Hak Perempuan Anindya Joediono mengatakan, pandangan normalisasi KDRT itu kebanyakan terjadi pada kultur budaya tradisional.

"Dalam banyak masyarakat ya norma-norma tradisional dan budaya itu membuat KDRT dianggap sebagai hal yang wajar bahkan dianggap sebagai dinamika hubungan yang normal," kata Anindya, dikutip dari siaran langsung bersama Instagram Indonesia Hapus Femisida, Jumat (20/9/2024).

Mengutip catatan Komnas Perempuan, Anindya menyebut bahwa korban KDRT lebih banyak dialami oleh perempuan berusia produktif antara 18 sampai dengan 40 tahun.

Baca Juga: Polisi: Cut Intan Nabila Belum Serahkan Bukti Rekaman CCTV Kasus KDRT

Parahnya lagi dari dampak konstruksi sosial yang keliru, menurut Anindya, masyarakat bisa jadi menganggap kekerasan suatu hal yang wajar selama dampaknya tidak terlihat parah terutama secara fisik.

Padahal, Anindya menegaskan bahwa jenis KDRT tidak hanya secara fisik. Tapi juga ada berupa kekerasan mental, pelemahan ekonomi, hingga kekerasan seksual dalan rumah tangga.

"Dan itu tercermin juga dalam angka kekerasan terhadap istri dan kekerasan dalam berpacaran yang tidak mengalami perubahan signifikan dari tahun ke tahun. Kalau nggak salah saya lihat di datanya itu cuman beda selisih berapa ribu, 480 ribu sama berikutnya 451 ribu apa berapa gitu. Itu pun hanya yang tercatat," ujarnya.

Diyakini Anindya bahwa masih banyak juga korban KDRT maupun kekerasan dalam berpacaran yang tidak melaporkan kekerasan karena berbagai macam pertimbangan. Biasanya menganggap tindakan kekerasan sebagai aib sehingga malu bila diketahui publik. Atau juga korban merasa takut lapor polisi karena faktoe biaya maupun birokrasi yang rumit.

"Banyak yang nggak melaporkan dan akhirnya menyelesaikan itu dalam proses kekeluargaan. Sehingga data-data yang ada di Komnas Perempuan itu pun ya yang kasus yang tercatat. Saya yakin kasus yang tidak tercatat itu lebih banyak dari itu bahkan mungkin bisa dua kali lipat," pungkasnya.

Baca Juga: Kejaksaan Kembalikan Berkas Kasus KDRT Cut Intan Nabila ke Polisi, Ada Apa?

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI