Kemenkes Diminta Hentikan Pembahasan RPMK Soal Produk Tembakau Dan Rokok Elektrik, Ini Alasannya

Rabu, 18 September 2024 | 17:40 WIB
Kemenkes Diminta Hentikan Pembahasan RPMK Soal Produk Tembakau Dan Rokok Elektrik, Ini Alasannya
Aliansi Masyarakat Sipil Minta Kemenkes Hentikan Pembahasan RPMK Soal Produk Tembakau Dan Rokok Elektrik. (Foto: Ist)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Aliansi masyarakat sipil menuntut pembahasan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) 2024 dihentikan. Hal itu lantaran dianggap terlalu memasung ruang gerak produk tembakau, rokok elektrik dan tata niaga pertembakauan di Indonesia.

Direktur P3M Sarmidi Husna mengatakan, diskusi nasional dengan tema “Telaah Kritis RPMK 2024 tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik” dilatari oleh kekhawatiran berbagai pihak terhadap dampak RPMK 2024 tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik, yang mengusulkan ketentuan kemasan polos tanpa merek untuk diberlakukan.

RPMK ini merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang tersebut.

Sarmidi menyoroti proses penyerapan dan pengayaan pasal-pasal dalam RPMK 2024 sangat minim pelibatan publik dan stakeholder yang kredibel, sehingga tidak partisipatif.

Baca Juga: Pelaku Usaha Ritel Khawatir Bisnisnya Lesu Lagi Imbas Aturan Baru Soal Rokok

“Beberapa pasal dalam RPMK 2024 berpotensi merugikan petani tembakau, UMKM, asosiasi dan industri rokok. Hal ini menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, termasuk penolakan dari beberapa kelompok,” kata Sarmidi, dalam keterangan tertulisnya, yang diterima Suara.com, Rabu (18/9/2024).

Sementara itu, perwakilan Kementerian Kesehatan, Benget Saragih menuturkan, RPMK 2024 ini tidak dimaksudkan untuk menyuruh orang berhenti merokok, tetapi menyasar anak-anak agar tidak merokok.

“Soal kealpaan beberapa Kementerian terkait, sebab menilai posisi mereka sudah menolak, sehingga Kemenkes jalan terus,” katanya.

Sementara itu, Ketua PBNU Miftah Faqih menegaskan, dalam proses perumusan regulasi apapun wajib melibatkan masyarakat secara berimbang dan berorientasi pada kemaslahatan bersama bukan sepihak.

Jika tidak, RPMK 2024 batal dan tidak adil. Rancangan Peraturan tidak sembarangan bisa disahkan tanpa adanya musyawarah dengan stakeholder yang terkait.

Baca Juga: Baekhyun EXO Tertangkap Merokok di Makau, Agensi Rilis Permintaan Maaf

“Pada prinsipnya, peraturan RPMK 2024 harus mampu mengakomodir semua golongan, berkeadilan dan sesuai dengan misi agama dan berwawasan ke depan,” kata Miftah.

Kemudian, perwakilan Kementerian Perindustrian, Nugraha Prasetya Yogi mengungkapkan, dalam proses PP 28/2024 yang sudah disahkan. Pihaknya juga dianggap tidak dilibatkan dalam draft akhir.

“Apalagi perumusan pasal-pasal dalam RPMK 2024yang baru ini, kami sama sekali belum terlibat didalamnya, padahal RPMK ini berpotensi sangat merugikan dunia perdagangan dan industri,” ujar Yogi.

Lebih lanjut, Yogi menekankan, jika kebijakan standarisasi kemasan produk tembakau dan rokok elektronik berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal.

Hal ini sangat berpotensi menurunkan penerimaan negara dari cukai hasil tembakau. Menurutnya, meningkatnya peredaran rokok ilegal justru bisa menggerus pasar rokok legal, sehingga dampaknya akan terjadi penurunan penjualan, penurunan produksi dan efisiensi tenaga kerja, bahkan sampai pemutusan tenaga kerja.

“Kondisi ini akan mengancam 537.452 orang tenaga kerja industri hasil tembakau dan mengancam keberlangsungan petani tembakau dan cengkeh yang mencapai 1,5 Juta KK,” tegasnya.

Perwakilan Federasi Serikat Pekerja Serikat Pekerja Seluruh Indonesia - Rokok, Tembakau, Makanan, Minuman (SPSI-RTMM), Sudarto ikut menyuarakan penolakan atas RPMK 2024 versi Kemenkes ini.

Menurutnya, Indonesia merupakan negara yang berdaulat. Pertanian tembakau dan tata niaga rokok sudah lama ada sebelum kita merdeka.

Dari aspek ketenagakerjaan, industri rokok tidak sedikit menyerap tenaga kerja. Sejak terbitnya UU Kesehatan No. 17 tahun 2003, dilanjutkan PP 28 tahun 2004, regulasi tembakau dipaksakan dengan strategi yang senyap dan sistematis.

Khususnya paska FCTC 2003 diadopsi dan diimplementasikan tahun 2005, regulasi nasional ditekan dan sarat kepentingan bisnis. Meskipun demikian, Indonesia tidak meratifikasi FCTC.

Hal ini sejalan dengan pertimbangan jutaan tenaga kerja dari hulu ke hilir yang diserap di industri hasil tembakau.

“Bukan hanya regulasi, industri hasil tembakau dikendalikan melalui kebijakan cukai, industri ditekan dengan kenaikan cukai, sehingga harga rokok semakin mahal, dan tidak aneh jika muncul rokok illegal. Kami mewakili para pekerja, yang memiliki kesetaraan hak di muka hukum dan hakmendapatkan pekerjaan yang layak, kami ingin aspirasi kami didengar,” jelas Sudarto

Sementara itu, perwakilan Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) Gunawan menyampaikan perlunya sinkronisasi PP dengan UU dan Peraturan Pemerintah yang ada.

Tembakau merupakan komoditas strategis nasional, dan termasuk produk unggulan lokal, sehingga perlu dilindungikarena melibatkan nasib petani. Selain sinkronisasi, setiap regulasi perlu melindungi hak-hak petani dan partisipasi publik secara lebih bermakna.

“Membuat peraturan tembakau tanpa partisipasi yang bermakna bisa dianggap inkonstitusional,” tagas Gunawan.

Sedangkan anggota DPR RI, Muhammad Misbakhun menyebut kuatnya kepentingan perusahaan raksasa dalam rezim kesehatan internasional menyebabkan bangkrutnya usaha rakyat, hilangnya lapangan kerja dan suramnya masa depan petani tembakau, petani cengkeh, serta kelangsungan usaha industri hasil tembakau (IHT) nasional.

“Pemerintah sebagai regulator tidak pernah menempatkan diri sebagai fasilitator yang memberikan exit strategy yang solutif bagi ekosistem pertembakauan,” ungkapnya.

Misbakhun juga menyebut RPMK tentang tembakau dan rokok elektronik ini juga minim partisipasi industri dan publik untuk mengkaji dampak (khususnya ekonomi) yang ditimbulkan dari beberapa pasal yang berkaitan dengan sektor IHT.

“Saya melihat minimnya partisipasi ini memberikan pengaruh terhadap kondisi ekonomi di masa akan datang,” katanya.

Senada dengan Misbakhun, Budiman dari Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia menilai pelarangan dan pembatasan penjualan produk, pasti akan berdampak pada penurunan produksi dan berdampak pada tenaga kerja dan serapan bahan baku tembakau dan cengkeh.

Indonesia memiliki 97 persen rokok kretek yang menggunakan cengkeh, dan 1,5 juta petani cengkeh memenuhi penyerapan kebutuhan rokok kretek.

Pembatasan akan berdampak pada masyarakat yang menopang ekosistem pertembakauan.

Sekjen DPN Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Kusnasi Mudi juga mengatakan pemerintah perlu mengkaji ulang dan mengajak komunikasi para industri dari hulu ke hilir karena dampaknya akan sangat besar terhadap masa depan tembakau.

Menurutnya, RPMK belum berdasarkan pada asas keadilan yang menyeluruh.

“Atas dasar pertimbangan tersebut, para perwakilan masyarakat sipil dalam Halaqah Nasional menilai RPMK 2024 yang sedang dibahas Kementerian Kesehatan tersebutbermasalah dalam aspek perundangan, substansi dan prosesnya, sehingga tidak layak untuk dilanjutkan pembahasannya oleh pemerintah,” katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI