Suara.com - Kelompok perjuangan Palestina, Hamas akan segera mungkin melakukan gencatan senjata di Jalur Gaza sesuai usulan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden.
Namun, disamping akan melakukan gencatan senjata, Hamas sendiri nampaknya dinilai masih ragu, lantaran Israel masih melakukan serangan ke jalur Gaza.
Dalam pernyataan yang dikeluarkan setelah pertemuan antara tim perunding Hamas, di ibu kota Qatar, Doha, Hamas menegaskan kembali penolakannya terhadap setiap “syarat baru” yang ditambahkan ke dalam kesepakatan tersebut.
Pertemuan di Doha itu diikuti kepala juru runding Hamas Khalil al-Hayya, Perdana Menteri Qatar Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, serta kepala badan intelijen Mesir Abbas Kamel.
Baca Juga: Debat Perdana Capres AS, Trump Sebut Kamala Harris Kalah Karena Hal Ini
Biden pada Mei mengatakan Israel telah mengajukan kesepakatan tiga tahap untuk mengakhiri kekerasan di Gaza dan memastikan sandera yang ditahan di wilayah pesisir itu bisa dibebaskan.
Rencana kesepakatan tersebut mencakup gencatan senjata, pertukaran sandera-tahanan, serta rekonstruksi Gaza.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bersikeras untuk mempertahankan keberadaan militernya di sepanjang Koridor Philadelphi, dengan alasan bahwa itu adalah “jalur kehidupan” bagi Hamas untuk kembali mempersenjatai diri.
Koridor tersebut, yang merupakan kawasan demiliterisasi di sepanjang perbatasan Mesir dengan Gaza, telah menjadi titik penting dalam negosiasi antara Israel dan Hamas.
Selama berbulan-bulan, AS, Qatar, dan Mesir berusaha mencapai kesepakatan antara Israel dan Hamas untuk memastikan pertukaran tahanan dan gencatan senjata serta memungkinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza.
Baca Juga: Vietnam Luluh Lantak Diterjang Topan Yagi, Kemlu: 915 WNI Selamat
Namun, upaya mediasi tersebut terhenti karena Netanyahu menolak memenuhi tuntutan Hamas untuk menghentikan perang.
Israel terus melancarkan serangan brutal di Gaza sejak serangan awal pada Oktober tahun lalu meskipun ada resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata secepatnya.
Sudah hampir 41.100 orang, kebanyakan wanita dan anak-anak, yang tewas dan lebih dari 95.000 orang terluka, menurut otoritas kesehatan setempat.
Serangan Israel telah menyebabkan hampir seluruh populasi wilayah tersebut mengungsi di tengah blokade, yang sedang berlangsung serta menyebabkan kelangkaan makanan, air bersih, dan obat-obatan.
Israel di Mahkamah Internasional menghadapi tuduhan genosida atas tindakannya di Gaza.
Warga Palestina di Kamp Pengungsi Far'a Tewas Akibat Serangan Israel
Tentara Israel pada Kamis (12/9) menewaskan seorang pria Palestina di kamp pengungsi Far'a di kota Tubas, saat pasukan Zionis itu melanjutkan operasi militer di wilayah utara Tepi Barat yang diduduki.
Sumber medis di Rumah Sakit Pemerintah Tubas mengidentifikasi warga Palestina yang tewas sebagai Sufyan Abdul Jawad (46), yang ditembak tentara Israel dengan peluru yang mengenai jantungnya.
Pada Kamis dini hari, tentara Israel menyerbu kamp pengungsi Far'a dan memasuki beberapa rumah di tengah baku tembak dengan pejuang Palestina, menurut saksi mata.
Sementara itu, tentara Israel melanjutkan operasi militer di kota Tulkarem dan Tubas serta daerah sekitarnya, di mana dalam dua hari terakhir, tentara Israel telah menewaskan 10 warga Palestina di kedua kota tersebut.
Operasi tentara Israel itu mengikuti serangkaian serangan militer besar yang dimulai pada 28 Agustus, yang menargetkan Jenin dan Tulkarem beserta kamp pengungsinya, serta Tubas dan kamp pengungsi Al-Far'a, yang berlangsung selama 10 hari sebelum pasukan militer mundur.
Ketegangan di seluruh Tepi Barat semakin meningkat di tengah serangan militer Israel yang menghancurkan Gaza, yang telah menewaskan lebih dari 41.000 korban, sebagian besar adalah wanita dan anak-anak, sejak 7 Oktober tahun lalu.
Lebih dari 700 orang tewas dan lebih dari 5.700 lainnya terluka akibat tembakan Israel di Tepi Barat, menurut Kementerian Kesehatan setempat.
Eskalasi ini terjadi setelah pendapat terkemuka dari Mahkamah Internasional pada 19 Juli yang menyatakan bahwa pendudukan Israel atas tanah Palestina selama puluhan tahun adalah ilegal serta menuntut evakuasi semua permukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.