Suara.com - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim berpamitan dengan Komisi X DPR RI. Dalam momen tersebut Nadiem membacakan puisinya di hadapan para anggota Komisi X DPR RI. Dalam puisinya tersebut Nadiem menitipkan program Merdeka Belajarnya.
Hal itu terjadi dalam rapat kerja terakhirnya bersama Komisi X DPR di Komoleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (11/9/2024).
"Mungkin untuk menutup, karena dari tadi sudah banyak yang memberikan pantun, mungkin saya kasih sedikit lagi, puisi kalau boleh, biar agak beda sedikit," kata Nadiem.
Nadiem menyampaikan dalam puisinya, ketika zaman dulu, murid merasa berat bangun di pagi hari. Ketika memakai seragam sekolah, para murid merasakan ketegangan di hati.
Baca Juga: Blak-blakan Tuding Jokowi Pecinta PKI, Ucapan Amien Rais Ditepis Mahfud MD, Apa Katanya?
Sebab, anak itu tahu, bahwa sesaat lagi mereka akan masuk ke ruang kelas yang menakutkan.
"Zaman dulu setiap kesalahan dikenai hukuman, setiap pertanyaan dipermalukan. Relevansi dari ajaran semakin membingungkan, dari hari ke hari ia semakin ketinggalan," ujarnya.
Ia mengatakan, bukan hanya murid yang ketakutan, melainkan juga para guru.
Guru-guru tidak bisa bernapas karena mengejar pembelajaran materi ajar yang kecepatannya seperti kereta. Selain itu, beban birokrasi juga membuat guru merasa seperti tahanan.
"Tetapi, di dalam hati setiap anak, ada mimpi yang tersembunyi keinginan untuk belajar tanpa dihakimi. Kepercayaan yang kuat bahwa dia punya kompetensi. Keinginan untuk dilihat sebagai manusia mandiri," katanya.
"Dan setiap guru punya firasat di dalam hati mereka bahwa mungkin metode kuno sudah tidak relevan lagi. Bahwa pembelajar sepanjang hayat tidak mungkin bisa diproduksi dengan kekakuan dengan penghafalan dan standarisasi," sambungnya.
Ia menegaskan, baik anak maupun guru harus diberikan ruang untuk berkreasi, berinovasi, dan berjuang.
Menurutnya, ruang kelas harus menjadi panggung dan juga peluang untuk menemukan jati diri setiap orang.
Saat ini, Indonesia sedang melihat apa yang terjadi jika murid dan guru diberikan panggung untuk membuktikan bahwa kreativitas dan kolaborasi sama pentingnya dengan berhitung.
"Bapak dan ibu, proses transformasi membutuhkan sabar. Hampir 5 tahun kami sibuk menanam akar, baru sekarang bunga perubahan terlihat mekar. Di tangan Anda semua (DPR), saya titipkan (program) Merdeka Belajar," tutup puisinya.