Suara.com - Pada tanggal 30 September 1965 silam, terjadi pembunuhan yang menewaskan enam jenderal dan satu perwira dari Angkatan Darat. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Gerakan 30 September atau G30S. Kemudian, kejadian tragis ini menjadi titik penting yang menandai awal kemerosotan kekuasaan Presiden Soekarno.
Setelah peristiwa tersebut, muncul gelombang tuntutan dari berbagai kalangan masyarakat, terutama mahasiswa, yang mendesak agar Soekarno lengser dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia. Tuntutan tersebut didasarkan pada kedekatan Soekarno dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang oleh banyak pihak dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab atas tragedi itu.
Selain itu, terdapat spekulasi bahwa Soekarno mungkin memiliki keterlibatan dalam pembunuhan para jenderal dan perwira tersebut. Hal ini semakin memperburuk posisinya di mata masyarakat dan mempercepat akhir dari masa pemerintahannya.
Awal Tuduhan Bung Karno Dalangi G30S
Baca Juga: Kisah Misterius Pasukan Elit Marinir Menyusup ke Wisma Yaso Hendak Bebaskan Sukarno
Tidak pernah ada bukti yang membuktikan bahwa Bung Karno terlibat langsung dalam peristiwa G30S. Sejak kemunculannya pada tahun 1941, PKI dikenal sebagai partai politik yang memiliki kecenderungan radikal dan sering kali diasosiasikan dengan tindakan-tindakan anarkis.
PKI juga terlibat dalam beberapa pemberontakan, salah satu yang paling terkenal adalah Pemberontakan Madiun pada tahun 1948. Insiden ini mengakibatkan kematian sejumlah pejabat pemerintah serta tokoh-tokoh yang menentang komunisme di Indonesia.
Akibat dari tindakan-tindakan radikal tersebut, muncul desakan kuat dari rakyat agar PKI segera dibubarkan. Namun, Presiden Soekarno memilih untuk tidak merespons desakan tersebut.
Lebih jauh lagi, Soekarno justru menunjukkan dukungannya terhadap sayap kiri politik dengan mengeluarkan UU Darurat serta memperkenalkan konsep Nasakom pada tahun 1956. Nasakom, yang merupakan singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme, bertujuan untuk merangkul tiga kekuatan utama dalam perpolitikan Indonesia: tentara, kelompok Islam, dan kaum komunis.
Meskipun Soekarno terus mempromosikan Nasakom, pada akhirnya konsep ini gagal mendapat dukungan luas dan perlahan-lahan menghilang. Keberadaan PKI sendiri semakin terjepit setelah Peristiwa G30S, di mana PKI dituding sebagai dalang di balik tragedi tersebut. Rakyat semakin keras menuntut agar Soekarno segera mengambil tindakan untuk membubarkan PKI.
Meski begitu, Soekarno tetap tidak menuruti permintaan rakyat. Masyarakat sudah lama mendesak agar PKI dibubarkan, tetapi Soekarno tak pernah memberikan respon yang diharapkan.
Sikapnya yang demikian akhirnya memicu spekulasi bahwa Soekarno terlibat dalam peristiwa G30S, meskipun tidak ada bukti yang mendukung tuduhan tersebut.
Saat peristiwa G30S berlangsung, diketahui bahwa Presiden Soekarno tidak berada di Istana Merdeka. Pada malam 30 September 1965, Soekarno menginap di rumah istri ketiganya, Ratna Sari Dewi.
Pagi harinya, ketika hendak kembali ke Istana, Soekarno justru memutuskan untuk singgah ke rumah istri keduanya, Haryanti, yang berada di daerah Slipi, karena mendengar kabar bahwa Istana Merdeka telah dikepung oleh pasukan misterius. Setelah itu, Soekarno dipindahkan ke Halim Perdanakusuma demi keselamatannya.
Fakta Sejarah Tragedi G30S
Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) menegaskan bahwa tidak ada bukti hukum yang menunjukkan bahwa Presiden pertama Indonesia, Soekarno, terlibat sebagai dalang dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S.
Ahmad Basarah selaku anggota Dewan Penasehat PP Bamusi, menjelaskan bahwa tidak pernah ada keputusan pengadilan yang membuktikan keterlibatan Soekarno dalam insiden G30S.
Ia juga menyoroti bahwa pencopotan Soekarno dari jabatannya sebagai presiden melalui TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tidak dilaksanakan melalui proses hukum yang adil dan transparan.
Lebih lanjut, Basarah menyatakan bahwa setelah terbitnya TAP MPRS tersebut, tidak ada proses hukum yang berlangsung secara benar dan berkeadilan. Ia juga menekankan bahwa tuduhan terhadap Soekarno terkait keterlibatannya dalam G30S merupakan tindakan yang tidak adil dari negara.
Basarah menyebut, dengan pengangkatan Soekarno sebagai pahlawan nasional, tuduhan tersebut otomatis gugur secara hukum. Hal ini mengacu pada pasal 25 dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2009 mengenai Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Termasuk gelar pahlawan nasional yang diberikan kepada Bung Karno. Aturan itu menyatakan bahwa seseorang yang ingin diakui sebagai pahlawan nasional harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Seperti memiliki integritas moral, keteladanan, dan tidak pernah mengkhianati bangsa.
Tap MPRS 33 Dicabut
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia secara resmi membatalkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967. Ketetapan tersebut sebelumnya menganggap bahwa Presiden Sukarno telah mengambil keputusan yang mendukung Gerakan 30 September (G30S) dan melindungi para pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, yang akrab disapa Bamsoet, menyerahkan surat pembatalan tersebut secara langsung kepada keluarga Presiden Sukarno. Surat itu diterima oleh beberapa anak Sukarno, termasuk Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.
Dalam pernyataannya, Bamsoet mengungkapkan bahwa MPR telah menerima surat dari Menteri Hukum dan HAM mengenai tindakan selanjutnya terkait pembatalan TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967.
Dengan pencabutan ini, tuduhan terhadap Proklamator sebagai pengkhianat negara dan kolaborator PKI tidak terbukti. Langkah ini mencerminkan penilaian ulang terhadap sejarah dan penegasan kembali terhadap reputasi Presiden Sukarno.
Kontributor : Rishna Maulina Pratama