Semua rapat-rapat itu menurut Sri Mulyani, hanya formalitas saja untuk menunjukkan ke publik bahwa pemerintahan berjalan efektif. Sementara mengenai 'kue- dibagi ke siapa, adalah perkara sekunder.
Ia mencontohkan ada pejabat yang berlatar belakang pengusaha mengaku telah meninggalkan semua bisnisnya. Namun semua orang tahu keluarganya masih berada di perusahaan tersebut.
Pejabat itu lalu kata Sri Mulyani ikut dapat membuat keputusan yang menguntungkan perusahaannya. Hal ini menurut Sri Mulyani membuatnya terbengong-bengong.
"Ada keputusan ini, tiba-tiba besok lagi keputusan itu yang mengimpor adalah perusahaan dia," ujar Sri Mulyani seraya mengatakan masih banyak contoh lain yang ia catat di buku pribadinya.
Hal semacam ini menurut Sri Mulyani, adalah penyakit yang terjadi di zaman Orde Baru hanya saja perumusan kebijakannya dibuat tertutup.
"Tapi sekarang dengan kecanggihan karena kemampuan dari kekuasaan dia bisa mengkooptasi decision making process juga. Kelihatannya demokrasi, kelihatannya melalui proses check and balance tapi di dalam dirinya unsur mengenai konflik kepentingan dan tanpa etika begitu kental. Etika merupakan barang jarang disebut," tegas Sri Mulyani.
Ia kembali menceritakan pengalamannya ketika memimpin rapat di Kementerian Keuangan. Rapat ini berhubungan dengan beberapa perusahaan.
Dalam rapat itu diundang sejumlah pihak seperti pihak komisaris perusahaan tersebut. Sebagai Menkeu baru, Sri Mulyani saat itu memulai tradisi baru. Ia ingin rapat tersebut steril dari pihak yang punya konflik kepentingan.
"Saya mengatakan dengan tenang, bagi yang punya afiliasi dengan apa yang sedang kita diskusikan silakan keluar dari ruangan. Memang itu adalah tradisi yang coba kita lakukan di Kementerian Keuangan. Kebetulan mereka adalah teman-teman saya," ujar Sri Mulyani.
Namun teman-temannya itu lanjut Sri Mulyani, dengan pintar mengatakan, "Mba Ani jangan sadis-sadis amatlah kaya gitu. Kalaupun kita suruh keluar diem-diem aja ga usah caranya kaya gitu."