Suara.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah mengalami shock culture atau geger budaya birokrasi ketika pertama kali menjadi pejabat negara.
Jabatan publik yang diemban wanita kelahiran 26 Agustus 1962 ini pertama kali adalah Menteri Keuangan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wapres Jusuf Kalla (JK) pada tahun 2005.
Sebelumnya, Sri Mulyani bekerja sebagai Executive Director di International Monetary Fund (IMF). Di lembaga keuangan internasional itu, Sri Mulyani pertama kali mengenal para birokrat dari negara-negara maju.
Hari pertama bekerja di IMF, Sri Mulyani mengaku langsung diminta menandatangani pakta integritas etika seorang Executive Director IMF, apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Salah satunya adalah tentang konsep konflik kepentingan.
"Di situ juga disebutkan konsep konflik kepentingan. Bagaimana suatu institusi yang memprodusir suatu policy publik untuk level internasional mengharuskan setiap elemen orang yang terlibat dalam proses kebijakan itu, harus menanggalkan konflik kepentingannya," ujar Sri Mulyani saat memberikan kuliah umum Kebijakan Publik dan Etika Publik di tahun 2010 silam.
Jika ragu tentang apa yang dimaksud konflik kepentingan itu, menurut wanita yang pernah menjadi dosen Ekonomi Universitas Indonesia (UI), boleh bertanya ke atasan di IMF.
"Sehingga bekerja di institusi seperti itu menurut saya mudah dan kalau anda tergelincir ya kebangetan aja anda," tuturnya.
Hal berbeda dialami Sri Mulyani ketika kembali ke Indonesia menjadi Menteri Keuangan. Doktrin konsep konflik kepentingan yang ia yakini ketika di IMF tidak berlaku sama sekali di tanah air.
Menurutnya, dalam rapat-rapat membuat sebuah kebijakan justru pihak yang punya kepentingan ikut duduk merumuskan kebijakan tersebut dan tidak merasa risih.
Baca Juga: Sri Mulyani Ungkap Kendala Ambisius RI Soal Transisi Energi
"Saya sering menghadiri suatu rapat membuat suatu kebijakan di mana kebijakan itu akan berimplikasi pada anggaran, entah belanja, entah insentif dan pihak yang ikut duduk di dalam kebijakan itu adalah pihak yang akan mendapatkan keuntungan itu dan tidak ada rasa risih," ujar Sri Mulyani.
Semua rapat-rapat itu menurut Sri Mulyani, hanya formalitas saja untuk menunjukkan ke publik bahwa pemerintahan berjalan efektif. Sementara mengenai 'kue- dibagi ke siapa, adalah perkara sekunder.
Ia mencontohkan ada pejabat yang berlatar belakang pengusaha mengaku telah meninggalkan semua bisnisnya. Namun semua orang tahu keluarganya masih berada di perusahaan tersebut.
Pejabat itu lalu kata Sri Mulyani ikut dapat membuat keputusan yang menguntungkan perusahaannya. Hal ini menurut Sri Mulyani membuatnya terbengong-bengong.
"Ada keputusan ini, tiba-tiba besok lagi keputusan itu yang mengimpor adalah perusahaan dia," ujar Sri Mulyani seraya mengatakan masih banyak contoh lain yang ia catat di buku pribadinya.
Hal semacam ini menurut Sri Mulyani, adalah penyakit yang terjadi di zaman Orde Baru hanya saja perumusan kebijakannya dibuat tertutup.
"Tapi sekarang dengan kecanggihan karena kemampuan dari kekuasaan dia bisa mengkooptasi decision making process juga. Kelihatannya demokrasi, kelihatannya melalui proses check and balance tapi di dalam dirinya unsur mengenai konflik kepentingan dan tanpa etika begitu kental. Etika merupakan barang jarang disebut," tegas Sri Mulyani.
Ia kembali menceritakan pengalamannya ketika memimpin rapat di Kementerian Keuangan. Rapat ini berhubungan dengan beberapa perusahaan.
Dalam rapat itu diundang sejumlah pihak seperti pihak komisaris perusahaan tersebut. Sebagai Menkeu baru, Sri Mulyani saat itu memulai tradisi baru. Ia ingin rapat tersebut steril dari pihak yang punya konflik kepentingan.
"Saya mengatakan dengan tenang, bagi yang punya afiliasi dengan apa yang sedang kita diskusikan silakan keluar dari ruangan. Memang itu adalah tradisi yang coba kita lakukan di Kementerian Keuangan. Kebetulan mereka adalah teman-teman saya," ujar Sri Mulyani.
Namun teman-temannya itu lanjut Sri Mulyani, dengan pintar mengatakan, "Mba Ani jangan sadis-sadis amatlah kaya gitu. Kalaupun kita suruh keluar diem-diem aja ga usah caranya kaya gitu."
"Saya ingin menceritakan cerita seperti ini bagaimana ternyata konsep mengenai etika dan konflik kepentingan itu sangat langka di Republik ini. Dan kalau kita berusaha untuk menjalankan dan menegakkan kita dianggap menjadi barang yang aneh," ujar Sri Mulyani.