Suara.com - Di bawah kepemimpinan Penjabat (Pj.) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menekankan pentingnya mengatasi persoalan di tengah masyarakat. Sebab, sanitasi yang tak terurus bisa mengundang berbagai masalah, khususnya bagi kesehatan warga.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi DKI Jakarta Ani Ruspitawati menyatakan, sanitasi yang buruk bisa memicu banyak penyakit yang mudah menyerang tubuh. Apalagi, pada golongan menengah ke bawah yang tinggal di lingkungan padat penduduk.
"Banyak penyakit rentan terjadi di wilayah dengan sanitasi yang kurang baik seperti diare, kolera, infeksi pernafasan akut, demam tifoid dan berisiko menimbulkan kejadian stunting," ujar Ani kepada Suara.com, Senin (5/8/2024).
Ani menyatakan, saat ini kebiasaan Buang Air Besar Sembarangan (BABS) masih menjadi perhatian khusus. Berdasarkan data Dinkes DKI pada 2020, sebanyak 935.000 warga atau 187.000 kepala keluarga mengaku masih melakukan BABS yang dapat menyebabkan masalah kesehatan.
Baca Juga: Mobil Hybrid akan Mendapatkan Insentif dari Pemerintah? Ini Penjelasannya
Merujuk data Direktorat Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam Laporan Tahunan 2022 Stop BABS di Indonesia, capaian persentase desa atau kelurahan deklarasi stop BABS (SBS) di DKI Jakarta kurang dari 20 persen. Sementara, capaian persentase rumah tangga yang BABS di jamban sendiri atau bersama di atas 80 persen.
"Menurut data tersebut, persentase desa atau kelurahan SBS di DKI Jakarta ada di urutan dua terbawah setelah Papua yang juga kurang dari 20 persen," tutur Ani.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan, ada dua tantangan untuk menghadirkan sanitasi layak di Jakarta. Pertama, kepadatan Jakarta yang tinggi melebihi 10 juta jiwa per hektar, yang seharusnya menggunakan Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik Terpusat (SPALD-T).
"Namun biaya investasi untuk pengembangan SPALD-T cukup tinggi, terlebih pengembangan di kota yang sudah terbangun, membutuhkan biaya lebih," jelas Ani.
Kemudian, ia juga mengakui, tingkat kesadaran masyarakat masih kurang. Akibatnya, partisipasi masyarakat dalam program pengelolaan dan pengembangan sistem air limbah yang dilakukan Dinas Sumber Daya Air (SDA) Provinsi DKI Jakarta belum menyeluruh, meskipun biaya pembangunan ditanggung oleh pemerintah.
Baca Juga: Strategi Telkom Jadi Perusahaan Ramah Lingkungan
Kemudian, Pemprov DKI Jakarta juga sudah memiliki program revitalisasi tangki septik, demi penyediaan sanitasi berkualitas. Sepanjang 2020-2022 telah dilaksanakan program Subsidi Revitalisasi Tangki Septik Rumah Tangga di 3.693 titik.
"Pada 2023 juga telah dilaksanakan program Rehabilitasi MCK (Mandi Cuci Kalus) dan/atau Tangki Septik Komunal di 55 titik," ungkap Ani.
Titik lokasi pelaksanaan program-program tersebut tersebar di lima wilayah kota administrasi Jakarta dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat terhadap akses sanitasi.
Revitalisasi tangki septik dilakukan dengan menyediakan sarana pengolahan air limbah domestik sistem setempat berupa tangki septik, sehingga mencemarkan lingkungan akibat air limbah domestik.
Berdasarkan data Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, jumlah rumah tangga atau KK yang masih melakukan praktik Buang Air Besar Sembarangan (BABS) pada 2023 sebanyak 5,47 persen Kepala Keluarga, dari seluruh KK di Provinsi DKI Jakarta yang didata.
"Hal ini dapat diartikan rumah tangga tersebut belum memilki prasarana dan sarana sanitasi yang layak, termasuk belum memiliki tangki septik," pungkas Ani.
Sementara, pengamat perkotaan dari dari Universitas Trisakti Yayat Supriatna mengemukakan, masalah sanitasi tak boleh dipandang remeh. Bukan hanya sekadar estetika kota, sanitasi buruk pun bisa mengganggu tumbuh kembang anak.
"Air bersih yang tercemar limbah itu bisa mengakibatkan stunting, karena mengganggu pertumbuhan otak dan badan. Jadi jangan hanya salahkan gizi saja, justru yang penting ini (sanitasi)," papar Yayat.
Ia juga mengapresiasi program Pemprov DKI Jakarta dalam menyediakan sarana MCK (Mandi, Cuci, Kakus) di permukiman padat penduduk. Namun, ia mencatat persoalan MCK komunal adalah perawatannya.
"Jadi masyarakat juga malas kalau MCK kotor dan bau. Akhirnya mereka buang air besar itu balik lagi ke sungailah. Juga harus dipastikan itu gratis, tidak bayar," urainya.
Ia pun mengakui, persoalan sanitasi ini tak bisa hanya diselesaikan pemerintah saja. Kesadaran masyarakat juga penting agar fasilitas sanitasi digunakam dan tak menimbulkan masalah bagi sekitarnya.
"Kalau masyarakat enggak sadar, ya repot juga. Ini akhirnya terus berulang. Air bersih jadi tercemar dan semuanya dirugikan," pungkas Yayat.