Suara.com - Daya tarik Anies Baswedan dalam dunia politik Indonesia mulai menemukan bentuknya. Halang rintang yang dihadapinya selama masa-masa pra-Pilkada 2024 menjadi salah satu ujian sekaligus batu sandungan yang dihadapi Mantan Gubernur DKI Jakarta.
Puncaknya, Anies Baswedan mengumumkan dirinya memilih menolak maju dalam Pilkada Jawa Barat, sebagai alternatif usai gagal maju di Pilkada Jakarta.
Kelihaian membaca keinginan pendukung yang mengikuti langkah politiknya itu akhirnya bermuara pada niat Anies untuk membuat partai politik seperti yang disampaikan melalui akun YouTube-nya.
"Apakah lalu akan membuat partai politik baru? Gini, bila untuk mengumpulkan semua semangat perubahan yang sekarang semakin hari makin terasa besar dan itu menjadi sebuah kekuatan, diperlukan menjadi gerakan maka membangun ormas atau membangun partai baru mungkin itu jalan yang akan kami tempuh," kata Anies.
Baca Juga: Anies Ngaku Lega Tidak Ikut Kontestasi Pilkada 2024: Hikmah Besar akan Muncul
Anies sendiri berharap tidak lama lagi langkah tersebut akan bisa dikonkritkan, terlebih gerakan atau semangat perubahan terus dirasakan.
"Kita lihat sama sama ke depan. Semoga tidak terlalu lama lagi, kita bisa mewujudkan langkah-langkah kongkrit untuk bisa mewadahi gerakan yang sekarang ini makin hari makin membesar menginginkan Indonesia yang lebih setara, demokrasi yang lebih sehat, politik yang lebih mengedepankan policy gagasan," ujarnya.
Pernyataan Anies usai menolak berkontestasi dalam Pilkada Jabar itu menyiratkan keinginan untuk mendirikan partai politik baru yang lebih baik. Sebab, ia menilai saat ini banyak partai politik yang tersandera kekuasaan.
"Kalau masuk partai, pertanyannya, partai mana yang sekarang tidak tersandera oleh kekuasaan?" katanya.
Membuat partai politik sendiri bagi Anies mungkin menjadi hal yang baru. Namun dalam kesejarahan Indonesia, kakek Anies Baswedan, Abdurrahman Baswedan atau dikenal AR Baswedan memiliki jejak sendiri dalam dunia politik, terkhusus partai politik di masa sebelum hingga awal kemerdekaan.
Baca Juga: Menyesal Tak Bisa Ikut Pilkada 2024, Anies Minta Maaf ke Warga Miskin Kota: Berat Rasanya
AR Baswedan dan PAI
Sosok AR Baswedan memiliki andil penting untuk membidani lahirnya Partai Arab Indonesia (PAI) pada Tahun 1937. Mulanya PAI merupakan akronim Persatuan Arab Indonesia yang dicetuskan pada tahun 1934.
Menurut Ensiklopedia Kemdikbud, terbentuknya PAI diawali dari gagasan pemuda Arab mengenai nasionalisme yang diwujukan dalam Konferensi Peranakan Arab Indonesia di Semarang pada 3-5 Oktober 1934.
AR Baswedan turut menjadi pemrakarsa bersama Nuh Al-Kaff, jurnalis yang bekerja di Matahari dan Pewarta Arab. Kemudian ada Hoesin Bafagieh dan A Miskati dari Zaman Baroe yang juga berperan aktif dalam konferensi.
Konferensi itu kemudian melahirkan Sumpah Pemuda Arab yang berisi tiga pernyataan sikap, yaitu tanah air peranakan Arab adalah Indonesia, peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan menyendiri (mengisolasi diri), dan peranakan Arab harus memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia.
Dalam sebuah artikel berjudul 'AR Baswedan Keturunan Arab-Indonesia yang Mengakui Indonesia Sebagai Tanah Airnya', Suratmin menuliskan bahwa peserta yang hadir dalam konferensi tersebut merupakan tokoh-tokoh peranakan yang menjadi 'unsur' dalam Perkumpulan Arab yang saling bertentangan satu dengan lainnya.
"Peristiwa tersebut tidak hanya menggemparkan seluruh lapisan masyarakat Arab saja, tetapi juga pemerintah kolonial dan kaum nasionalis," tulisnya dalam artikel tersebut.
Saat itu, masyarakat Arab peranakan dan totok pada umumnya menentang, sebagian lainnya memilih menunggu dan sebagian lainnya bersimpati.
Golongan yang menaruh simpati tersebut jumlahnya sedikit. Kebanyakan mereka berdiri netral di antara Al-Irsyad dan Arrabitah, ada tokohnya ada pula
peranakannya.
"Pihak Al-Irsyad dan Arrabitah seolah-olah bergandengan tangan menghadapi 'persatuan' baru yang dianggap berbahaya itu."
Meski diinisiasi Arab peranakan, PAI yang telah berubah menjadi partai politik dengan cepat berkembang.
Dua tahun setelah berubah bentuk menjadi partai, tepatnya di Tahun 1939, PAI masuk dalam politik nasional, bergabung dengan Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Gerakan GAPI sendiri lebih kepada tuntutan 'Indonesia Berparlemen'.
Selain itu, PAI juga diterima dalam Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang merupakan federasi dari seluruh partai dan perkumpulan Islam.