Terungkap! PT Timah Minta Jatah 50 Persen Dari Tambang Ilegal

Bangun Santoso Suara.Com
Jum'at, 23 Agustus 2024 | 00:15 WIB
Terungkap! PT Timah Minta Jatah 50 Persen Dari Tambang Ilegal
Sidang pemeriksaan saksi kasus dugaan korupsi timah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (22/8/2024). ANTARA/Agatha Olivia Victoria
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Saksi kasus dugaan korupsi timah, Ahmad Syahmadi, mengatakan PT Timah Tbk. sempat meminta jatah sebesar 50 persen bijih timah dari kuota ekspor lima smelter swasta yang melakukan pertambangan ilegal di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah.

Ahmad, mantan General Manager Produksi PT Timah Wilayah Bangka Belitung 2016—2020 dan 2022—2023, menyebutkan permintaan tersebut diajukan karena kelima smelter telah diberikan persetujuan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) agar bisa melakukan kegiatan penambangan.

"Namun, akhirnya kuota yang disepakati sebesar 5 persen dalam forum komunikasi di grup WhatsApp," ujar Ahmad dalam sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (22/8/2024).

Kelima smelter swasta dimaksud, yakni PT Refined Bangka Tin (RBT), CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Inter Nusa.

Baca Juga: Jaksa Ungkap Peran Helena Lim Di Kasus Timah, Kirim Duit Panas Ke Harvey Moeis Lewat Transfer Dan Kurir

Ahmad menjelaskan bahwa pembicaraan mengenai pembagian kuota bijih timah dilakukan terakhir kali sebelum kesepakatan dalam pertemuan di Hotel Borobudur, Jakarta, yang dihadiri oleh perwakilan dari PT Timah dan kelima smelter.

Dalam pertemuan itu, kata dia, terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT RBT turut hadir beserta 24 orang lainnya yang mewakili kelima smelter. Selain itu, hadir pula mantan Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman dan mantan Kapolda Bangka Belitung Saiful Zuhri.

Namun, karena kondisi pertemuan kurang kondusif, Ahmad mengaku meminta izin pulang terlebih dahulu. Selang sehari setelah pertemuan, barulah kuota bijih timah yang disepakati untuk PT Timah sebesar 5 persen diumumkan di grup WhatsApp yang bernama New Smelter.

"Pengumuman disampaikan oleh mantan Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Kepulauan Bangka Belitung Mukti Juharsa yang merupakan admin grup itu," tuturnya sebagaimana dilansir Antara.

Ahmad bersaksi pada kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah pada tahun 2015—2022, yang menyeret Harvey sebagai salah satu terdakwa.

Baca Juga: Intip Crazy Rich PIK Helena Lim Jalani Sidang Perdana Kasus Korupsi Timah

Dalam kasus itu, Harvey didakwa menerima Rp420 miliar bersama Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) Helena Lim. Selain itu, terdapat pula beberapa pihak lain yang diuntungkan dari kasus korupsi timah sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp300 triliun.

Harvey diduga menerima uang Rp420 miliar dari biaya pengamanan alat processing (pengolahan) untuk penglogaman timah dari empat smelter, yang seolah-olah dicatat sebagai biaya Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) atau Corporate Social Responsibility (CSR) dari masing-masing perusahaan.

Dana itu dikelola oleh Harvey atas nama PT RBT untuk kepentingan pribadinya dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

TPPU dilakukan Harvey, antara lain, dengan membeli tanah, rumah mewah di beberapa lokasi, mobil mewah dengan nama orang lain atau perusahaan orang lain, membayar sewa rumah di Australia, hingga membelikan 88 tas mewah dan 141 perhiasan mewah untuk sang istri, Sandra Dewi.

Atas perbuatannya, Harvey terancam pidana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI