Suara.com - Presiden Joko Widodo atau Jokowi disebut turut andil atas menjamurnya politik dinasti, termasuk di Pilkada 2024. Hal tersebut tak lepas dari sikap Jokowi yang membiarkan putra sulungnya, Gibran Rakabuming, maju sebagai calon wakil presiden.
"Praktik politik dinasti diduga akan semakin marak terjadi karena ternormalisasi dengan langkah Presiden Jokowi dalam pemilu 2024 yang lalu dengan membiarkan atau justru mendorong anaknya maju sebagai kandidat Wakil Presiden," kata Kepala Divisi Korupsi Politik ICW Egi Primayogha dalam acara diskusi media di Jakarta, Selasa (13/8/2024).
Berdasarkan temuan dari Themis Indonesia Law Firm, ada lebih dari 200 daerah yang calon kepala daerahnya terafiliasi dengan politik dinasti pada Pilkada 2024 ini.
Egi menerangkan, kondisi tersebut menjadi bukti kalau politik dinasti justru makin terang-terangan dilakukan bahkan dianggap normal. Padahal, praktik tersebut tidak hanya mencederai sistem demokrasi, tapi juga rentan menimbulkan korupsi bila terus dilakukan.
Baca Juga: Maruk Kekuasaan! Gugatan Agar Eks Kepala Daerah Bisa Turun Kasta Berpotensi Bangun Politik Dinasti
"Kita punya banyak cerita soal hubungan yang erat satu sama lain antara politik dinasti dan korupsi. Baik itu di Banten misalnya, di Sumatera Selatan, atau juga di Cimahi, atau di Bogor. Ada kasus korupsi yang terjadi dan itu dilakukan oleh para pejabat yang melakukan praktik politik dinasti," ujar dia.
Korupsi yang timbul akibat politik dinasti juga selalu dari berbagai sektor, seperti pemberian suap dan penyediaan barang dan jasa. Egi menjelaskan, politik dinasti akan selalu menimbulkan korupsi karena adanya upaya melanggengkan kekuasaan atas kepentingan pribadi.
"Politik dinasti pada dasarnya ingin kapitalisasi kekuasaan lewat hubungan darah supaya kekuasaan bisa langgeng. Ketika itu terjadi akan selalu ada kecenderungan lakukan hal-hal yang tidak awam. Seperti prakti kotor, tindak pidana korupsi atau tindak pidana lain akan selalu dilakukan," tuturnya.
Hal buruk lainnya dari praktik politik dinasti juga karena merusak kompetisi dari proses demokrasi.
"Politik dinasti merusak kompetisi dalam demokrasi. Dalam politik dinasti itu ketika satu keluarga itu sudah punya power untuk maju, dia akan mencoba menyingkirkan calon lain," tambah Egi.
Baca Juga: Grace PSI Sebut Isu Politik Dinasti di Sumut Hanya untuk yang Takut Bertarung, Sindir Siapa?