Suara.com - Pengamat Kebijakan Luar Negeri dari Fisipol UGM, Dafri Agus Salim menyoroti kunjungan kerja Menteri Pertahanan RI sekaligus Presiden Terpilih, Prabowo Subianto ke Rusia dan beberapa negara Asia dan Eropa lainnya. Menurutnya kunjungan tersebut memberi sinyal terkait potensi pergeseran orientasi politik luar negeri Indonesia ke depan.
"Saya merasa sepertinya kunjungan ini memberi sinyal atau tanda bahwa orientasi politik kita kemungkinan akan sedikit bergeser. Dari yang tadinya agak barat, ini mungkin kita agak ke timur," kata Dafri dalam keterangannya kepada wartawan, Rabu (7/8/2024).
"Dalam konteks ini maksudnya ke negara-negara yang tidak selalu akrab dengan negara-negara Barat, terutama Amerika," imbuhnya.
Dari daftar negara-negara yang dikunjungi, kata Dafri, Prabowo tidak pergi ke negara-negara Barat. Sebaliknya, ia justru menunjukkan keinginan menjalin kerja sama dengan negara-negara Timur, seperti Turki, China, dan Rusia.
Baca Juga: Sinopsis Drama Strange Tales of Tang Dynasty II: To the West
Negara-negara yang berpotensi besar dalam hubungan ekonomi perdagangan Indonesia ke depannya. Dia melihat kunjungan ini juga mengindikasikan bahwa Prabowo ingin Indonesia tampil di dunia internasional sebagai negara yang mampu menghimpun kekuatan Timur.
Selain itu, Dafri juga berpendapat bahwa kunjungan yang dilakukan Prabowo tersebut sepertinya juga bertujuan untuk menemukan ruang baru bagi kerja sama ekonomi perdagangan Indonesia, di luar negara-negara Barat.
Sedangkan untuk kunjungan ke China-Rusia dapat berpengaruh besar terhadap hubungan politik luar negeri Indonesia dengan Amerika. Mengingat negara-negara tersebut berseberangan nilai-nilai politiknya dengan negeri paman sam.
Strategi Indonesia untuk mendekati China, Rusia, Turki, dilakukan dalam rangka meningkatkan posisi tawar terhadap negara-negara Barat. Diketahui selama ini dianggap menekan dan mengabaikan kepentingan Indonesia.
Menurutnya upaya memperkuat posisi tawar itu memungkinkan Indonesia punya akses lebih besar untuk merealisasikan kepentingannya. Selain itu, dampak lainnya akan berpengaruh pada akses Indonesia terhadap bantuan-bantuan.
Baca Juga: Bukan Lagi HP, Ini Teknologi Baru yang Dipamerkan Nokia di Indonesia
Baik dari negara-negara Barat atau lembaga-lembaga Internasional yang mungkin dapat menjadi semakin melemah. Di sisi lain, Indonesia nantinya bisa mengharapkan bantuan dari negara-negara lain.
"Menurut saya, ada dua tujuannya, untuk meningkatkan posisi tawar untuk mendapatkan akses lebih besar di bidang keamanan, misalnya pembelian senjata, dukungan politik, dan seterusnya. Bagian dari strategi Prabowo nanti untuk membuka pasar yang lebih luas dengan kerja sama ekonomi di luar negara-negara mainstream Barat," terangnya.
Pergeseran orientasi ini juga dinilai dipengaruhi oleh dinamika politik domestik Indonesia.
"Jadi, jangan-jangan kenapa kita sekarang dekat sekali dengan China, padahal dulu Prabowo seperti terlihat anti-China dari orasi-orasinya, itu dipengaruhi oleh kekuatan politik di dalam negeri, termasuk dalam hal ini pengusaha," tambahnya.
Dafri menyebut pergeseran orientasi politik luar negeri yang terjadi ini menunjukkan bahwa Indonesia belum dapat menjalankan politik bebas aktif yang murni sesuai dengan konsep yang ada.
"Di era Soekarno kita sangat dekat dengan Timur, tapi di era Soeharto kita dekat dengan Barat. Tidak bisa dikatakan sebagai bebas aktif, lebih bisa dikatakan sebagai pragmatisme," ucapnya.
"Kita tidak peduli lagi, mau barat, mau timur, kalau dia menguntungkan ya, jadi teman kita. Jadi bukan bebas aktif seperti yang dikonsepkan. Saya melihat ke depannya juga oleh Prabowo tidak akan murni," pungkasnya.