Suara.com - Kerusuhan pecah di Southport, Inggris minggu lalu, sehari setelah serangan pisau tragis yang menewaskan tiga gadis muda dalam acara kelas dansa bertema Taylor Swift. Delapan anak lainnya dan dua orang dewasa juga terluka dalam insiden tersebut.
Serangan tersebut merenggut nyawa Alice Dasilva Aguiar (9 tahun), Bebe King (6 tahun), dan Elsie Dot Stancombe (7 tahun).
Tak berselang lama, polisi menangkap seorang remaja berusia 17 tahun asal Cardiff.
Awalnya, identitas pelaku dirahasiakan karena usianya di bawah 18 tahun. Namun, di tengah spekulasi dan desas-desus yang berkembang, pengadilan akhirnya mencabut anonimitasnya, mengungkapkan namanya sebagai Axel Rudakubana, yang lahir di Cardiff dari orang tua asal Rwanda.
Misinformasi dan Kekerasan Sayap Kanan
Kerusuhan di Southport diwarnai dengan disinformasi yang cepat menyebar di media sosial. Klaim palsu, termasuk tuduhan bahwa tersangka adalah pencari suaka dan imigran Muslim, memicu kemarahan dan memobilisasi massa sayap kanan untuk turun ke jalan. Nama pelaku yang sebenarnya keliru, yakni, Ali al Shakati, juga disebarluaskan secara tidak benar.
Tokoh sayap kanan seperti Tommy Robinson dan Andrew Tate turut menyebarkan klaim-klaim ini di platform media sosial. Akun-akun di X dan Telegram, seperti @europeinvasionn dan @endwokeness, turut menyebarkan informasi palsu yang dilihat oleh jutaan orang.
Akibatnya, protes anti-imigrasi terjadi di berbagai kota di Inggris, termasuk London, Rotherham, Middlesbrough, Liverpool, Bolton, dan Irlandia Utara.
Lebih dari 140 orang ditangkap di seluruh negeri, dengan 43 penangkapan terjadi di Middlesbrough saja. Di beberapa lokasi, kerusuhan mengakibatkan kerusakan pada masjid, perpustakaan, dan pusat Konsultasi Warga, serta hotel yang menampung pencari suaka menjadi sasaran serangan.
Kerusuhan dan Sentimen Anti-Imigran
Mengutip Sky News, Perdana Menteri Sir Keir Starmer menggambarkan kekerasan ini sebagai kekerasan sayap kanan. Sementara Dr. Tim Squirrell dari Institute for Strategic Dialogue menyatakan bahwa sentimen anti-imigran dan anti-Muslim telah lama bergejolak di bawah permukaan. Ia menekankan bahwa kelompok sayap kanan sering memanfaatkan tragedi untuk memobilisasi massa dan mendorong agenda politik mereka.
Seorang psikolog spesialis perilaku massa, Dr. Chris Cocking menjelaskan bahwa kerusuhan biasanya dipicu oleh peristiwa awal dan konteks sosial yang lebih luas, seperti perasaan terasing dan kehilangan hak. Namun, dalam kerusuhan ini, ada kesiapan yang sudah ada untuk melakukan kekerasan di antara sebagian orang.
Menurutnya, kelompok sayap kanan menggunakan strategi tiga tingkat untuk mengorganisasi aksi mereka. Platform seperti Telegram digunakan untuk mengatur kelompok inti, sedangkan X digunakan untuk menyebarkan pesan ke audiens yang lebih luas. TikTok, dengan kapasitas streaming langsungnya, digunakan untuk mendokumentasikan dan memonetisasi aksi mereka, dengan dukungan dari pengguna yang memberikan tip dan hadiah.