Dilarang Salat, Korban Perdagangan Orang di Taiwan: Majikan Bilang 'Tuhan Kamu di Indonesia, Bukan di Sini

Jum'at, 02 Agustus 2024 | 16:50 WIB
Dilarang Salat, Korban Perdagangan Orang di Taiwan: Majikan Bilang 'Tuhan Kamu di Indonesia, Bukan di Sini
Maksud hati ingin mencari kehidupan lebih layak dengan bekerja di luar negeri, Maizidah Salas malah jadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). (Suara.com/Lilis)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Maksud hati ingin mencari kehidupan lebih layak dengan bekerja di luar negeri, Maizidah Salas malah jadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) saat usianya masih 18 tahun.

Kejadian itu telah lewat lebih dari 20 tahun lalu, namun Sadas masih ingat setiap detail dari kejadian buruk yang dia alami ketika menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Taiwan.

Ditemui Suara.com di kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Sadas menceritakan kalau dirinya bisa sampai ke Taiwan lewat suatu agensi penyalur kerja di tanah air. Dia ditawari untuk bekerja menjadi buruh pabrik maupun pekerja rumah tangga di Taiwan.

Namun, dalam prosesnya, dia bersama ratusan TKW lainnya harus melalui pelatihan di suatu tempat yang tidak layak selama tiga bulan.

Baca Juga: Desakan Ekonomi Jadi Pemicu TKI Mudah Terjebak Perdagangan Orang

"Di sana tidur tanpa alas, tanpa selimut, tanpa bantal selama 3 bulan. Alasannya untuk pendidikan. Tapi tidak pernah sekalipun diajarkan cara memasak makanan Taiwan," cerita Sadas.

Sadas yang kala itu masih berusia remaja, tak banyak curiga kalau dirinya tengah menjadi korban TPPO. Setelah masa 'pendidikan' tiga bulan itu berakhir, Sadas diminta pihak agensi untuk tanda tangan kontrak kerja di Taiwan.

Mulanya, pihak agensi menyampaikan kalau dia akan bekerja merawat lansia. Namun saat diantar ke rumah majikannya, Sadas tak mendapati seorang lansia pun. Rupanya Sadas justru dipekerjakan di suatu restoran Taiwan.

Di sana, Sadas dipaksa bekerja selama 20 jam, mulai jam 4 pagi hingga pukul 1 malam. Tugasnya untuk menyemai sayuran secara manual sebanyak 27 kilo juga mencuci usus babi yang banyaknya mencapai 7 kilogram. Serta harus bantu memasak hingga mengurus pekerjaan rumah tangga.

"Saat makan siang itu saya hanya boleh makan yang sisa makan kemarin," ungkapnya.

Baca Juga: Menteri PPPA Ungkap Perdagangan Orang di Luar Negeri Paling Banyak Dialami Pekerja ART

Sadas makin merasa tidak nyaman ketika majikannya itu mulai melarangnya salat. Majikannya itu beranggapan kalau Salas malas bekerja karena sering pergi ke kamar saat waktu tertentu, yang sebenarnya dia lakukan untuk salat.

"Akhirnya ketahuan kalau saya salat di kamar. Mereka bilang, 'Tuhan kamu di Indonesia, bukan di sini. Saya membayar kamu mahal itu untuk kerja, bukan untuk salat', gitu," ungkap Salas dengan suara bergetar.

Selama bekerja di tempat itu, sang majikan kerap mencari-cari kesalahan Sadas. Pada akhirnya, baru beberapa bulan bekerja, Sadas dipecat oleh majikannya karena berbagai alasan yang dibuat-buat.

Sempat mendapatkan majikan yang baik setelahnya, namun baru tiga bulan bekerja, pihak agensi justru memberinya kabar harus pulang ke Indonesia.

"Alasannya majikan lama tidak bisa mengambil pekerja migran asing kalau saya belum dipulangkan, karena saya terikat kontrak 3 tahun," ungkapnya.

Tetapi rupanya, alasan tersebut hanya akal-akalan pihak agensi. Dalam perjalanan di dalam mobil, Sadas mendapat tindak pelecehan seksual.

Sekuat tenaga, Sadas coba melarikan diri dari dalam mobil tersebut. Hingga akhirnya berhasil kabur, kejadian yang terjadi pada kurun waktu 2001-2002 itu, membawa Sadas jadi pekerja migran ilegal hingga tahun 2006.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI