Suara.com - Perempuan dinilai masih kalah eksistensinya dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Meski jumlah kepesertaanya terus meningkat setiap musim pemilu, namun The Indonesian Institute (TII) mencatat bahwa kemenangan perempuan di Pilkada justru menurun.
Peneliti bidang politik TII, Felia Primaresti, memperkirakan kalau persaingan antar perempuan sendiri kian ketat. Ditambah lagi masih melekatnya unsur dinasti politik di dalam partai itu sendiri.
"Jumlah kandidat dan kursinya selalu naik, tapi tingkat kemenangannya justru terus turun. Hal ini menunjukkan persaingan antar perempuan di partai sangat ketat. Ini dibuktikan dengan masih tingginya angka perempuan yang terafiliasi dengan dinasti politik," kata Felia dalam keterangan tertulisnya, Kamis (1/8/2024).
Felia juga mengkritik penyelenggara Pemilu yang seperti tidak mengindahkan syarat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen untuk setiap dapil parpol. Aturan itu tertulis dalam Undang-Undang (UU) Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 245.
"Justru malah menurunkan pembulatannya saat Pemilu 2024," kata dia.
Meski ada peningkatan jumlah perempuan yang mencalonkan diri, keberhasilan mereka dalam memenangkan kursi justru menurun. Menurut Felia, kondisi itu menunjukkan adanya hambatan struktural yang signifikan di dalam partai politik.
Terlebih bagi politisi perempuan yang memang tidak memiliki hubungan dinasti politik dengan petinggi parpol.
"Persaingan antar perempuan semakin ketat, terutama bagi mereka yang tidak memiliki afiliasi politik kuat atau dukungan dari dinasti politik. Dengan kata lain, akses perempuan dalam politik ke posisi kekuasaan masih dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal selain kemampuan mereka sendiri," lanjut Felia.
Rintangan itu diakui pula oleh anggota DPR Fraksi PKS Diah Nurwitasari. Dia mengungkapkan bahwa selain faktor dinasti, politisi perempuan juga hadapi rintangan berupa adu popularitas keterkenalan oleh masyarakat.
Baca Juga: Dapat Rekomendasi dari DPP Gerindra, Sutrisna Wibawa dan Sumanto Siap Maju di Pilkada Gunungkidul
Pragmatisme masyarakat yang cenderung memilih kandidat berdasarkan popularitas dan kekuatan ekonomi daripada kapabilitas, serta kendala internal yang sering kali menghambat partisipasi aktif perempuan dalam politik.