Suara.com - Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pesimistis kalau Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) bisa disahkan DPR tahun ini. Pasalnya, masa jabatan DPR periode 2019-2024 akan berakhir per Oktober mendatang.
Sementara itu, sampai sekarang belum ada tanda-tanda RUU tersebut akan dibahas di parlemen.
"Peluangnya agak tipis, waktunya sudah mau habis, Oktober sudah harus berganti. Jadi perkiraan saya enggak memungkinkan," kata Asisten deputi bidang perlindungan Hak Perempuan pekerja dan TPPO Prijadi Santoso ditemui di kantor KPPPA di Jakarta, Kamis (1/8/2024).
Walau begitu, KPPPA berharap masih ada kesempatan di sisa waktu sekitar dua bulan ini agar RUU PPRT bisa disahkan menjadi Undang-Undang. Menurut Prijadi, RUU tersebut hanya tinggal disahkan karena pembuatannya sendiri telah berlangsung cukup panjang sejak sekitar 20 tahun lalu.
"Tapi yang PPRT ini belum ada wacana pembahasan, kami pun belum menerima (panggilan DPR), mungkin Kemenaker (sudah). Tapi kalaupun sudah Kemenaker mendapatkan panggilan pembahasan pasti pun melibatkan kita, karena kita anggotanya," kata Prijadi.
Berdasarkan undang-undang pembentukan perundang-undangan, RUU PPRT itu akan dikategorikan sebagai RUU non carry over jika tidak juga disahkan oleh DPR periode 2019-2024. Akibatnya, jika masih ingin diperjuangkan undang-undangnya, maka pembahasannya harus dari awal pada tahap perencanaan.
"Iya dari awal lagi, meskipun sudah memiliki bahan yang cukup panjang karena sudah dari berapa tahun yang lalu sudah banyak dilakukan pembahasan," kata Prijadi.
Hanya saja, menurutnya, memang belum ada kemauan dari anggota DPR untuk menyegerakan pengesahan RUU PPRT menjadi UU. Dia menilai adanya sarat kepentingan politik dalam pembahasan tersebut.
"Yang penting itu kemauan politik, terutama dari anggota dewan. Kalau itu sudah oke, kita Kementerian juga sudah oke, titik temunya itu aja," pungkasnya.
Desakan Sahkan RUU PPRT
Sebelumnya, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan menegaskan bahwa RUU PPRT sangat perlu disahkan untuk melindungi para pekerja dari tindakan eksploitasi.
UU itu dinilai bisa menjadi payung hukum yang jelas bagi pemberi kerja dan pekerja itu sendiri. Sehingga bisa mendapatkan jaminan sosial yang mampu melindungi pekerja dari tindakan eksploitasi.
Catatan tahunan Komnas Perempuan menunjukan bahwa sepanjang 2019-2023 terdapat 25 kasus kekerasan terhadap PRT. Kemudian KPAI juga mencatat pada 2020 sekitar 30 persen anak yang menjadi korban tindak pidana perdagangan anak (TPPA) dipekerjakan sebagai PRT.
Data KPAI juga tercatat pada periode 2023-2024 menunjukan situai PRT anak bukan hanya mulai eksploitasi ekonomi, namun juga seksual serta bentuk-bentuk penyiksaan dan berakhir tanpa proses hukum karena mencabut laporan dari orang tua atau walinya.
Sementara, data Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) 2018 menunjukkan sampai 2023 terdapat 2.641 kasus kekerasan terhadap PRT.