Suara.com - Komnas Pengendalian Tembakau (PT) mengungkap bahwa industri tembakau di Indonesia saat ini telah mengubah target pasarnya kepada anak remaja. Hal itu pula yang disebut jadi salah satu penyebab angka perokok pada anak masih tinggi.
Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 dari Kementerian Kesehatan mencatat bahwa dari 70 juta perokok di Indonesia, sebanyak 7,4 persen di antaranya merupakan anak berusia 10-18 tahun.
"Industri rokok ini sekarang mengincar remaja. Kenapa? Karena mereka tahu, orang-orang tua sudah kecanduan rokok. Jadi mereka butuh mulut-mulut baru agar industrinya tetap ngebul," kata pengurus Komnas PT bidang pendidikan Fuad Baradja dalam diskusi media di Kantor Yayasan Jantung Indonesia, Jakarta, Rabu (31/7/2024).
Pernyataan itu turut diaminkan oleh peneliti kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia Aryana Satrya. Menurutnya, pemerintah juga sebenarnya telah sadar kalau industri rokok itu kini mengincar anak-anak.
Baca Juga: Pemerintah Larang Rokok Dijual Batangan, Aturannya Bakal Ampuh Diterapkan?
"Sadar sekali. Itu kan Kementerian Kesehatan, itu pasti sadar. Kemenko PMK pasti sadar. Kementerian Dikbud pasti sadar. Kenapa? Karena mereka sudah membuat aturan. Sejak PP 109 itu mereka sadar juga, misalnya dengan ada mengatur jarak penjualan, kemudian adanya iklan dibatasi jam tayangnya," terang Aryana kepada Suara.com.
Akan tetapi, menurut Aryana, pemerintah belum sepenuhnya melihat rokok sebagai penyebab ancaman kesehatan. Sebab industri rokok juga masih besar di Indonesia. Bahkan pemiliknya termasuk salah satu orang terkaya di Tanah Air.
Sehingga, keputusan pemerintah dalam membuat aturan terkait pembatasan jual beli rokok masih menjadi pro kontra antara kementerian sektor kesehatan dengan sektor industri.
"Wajar saja di mana-mana, kementerian-kementerian yang pro dengan kesehatan, kementerian yang pro dengan industri. Misalnya kementerian yang pro dengan industri ini pasti menekankan soal tenaga kerja, menekankan soal industrinya ini," ujar Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) UI tersebut.
Argumen di pihak industri kerap kali mengangkat tentang nasib petani tembakau bila jual beli rokok makin ketat. Namun, menurut Aryana, argumen mereka juga cenderung lemah. Sebab faktanya di lapangan, kesejahteraan petani tembakau masih termarjinalkan sekali pun produksi tembakau naik.
Baca Juga: PP 28 Tahun 2024 Belum Ketat Atur Iklan Rokok, Pengamat UI: Ada Intervensi dari Industri Tembakau
"Seharusnya mereka tunjukkan apakah petani itu masih tambah banyak, apakah pekerja-pekerja rokok itu banyak. Mereka (petani) kalau demo selalu ditaruh paling depan, tapi kalau pada saat panen mereka tidak dipedulikan," kritiknya.
Dia menyatakan bahwa pemerintah sampai saat ini memang masih mendapatkan intervensi dari industri rokok. Sehingga, belum bisa membuat aturan yang ketat terkait rokok.
Termasuk masih enggan ikut berkomitmen tandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau internasional.