Pakar UGM Sebut Tak Ada Tujuan Jelas dari Larangan Jual Rokok Eceran

Rabu, 31 Juli 2024 | 15:25 WIB
Pakar UGM Sebut Tak Ada Tujuan Jelas dari Larangan Jual Rokok Eceran
Ilustrasi Rokok (pixabay)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Salah satu aturan di PP tersebut adalah soal larangan penjualan produk tembakau dan rokok elektronik secara eceran.

Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), AB Widyanta menyoroti soal kebijakan tersebut. Dia menilai peraturan tentang kontrol atas peredaran produksi hasil tembakau ini tidak terlalu strategis.

"Kalau dari saya sendiri ada peta besar yang sebetulnya jauh lebih strategis untuk dilakukan oleh pemerintah ketimbang itu. Tapi pemerintah sepertinya hanya mau berpikir pendeknya saja, pengen berpikir instannya saja," kata AB saat dihubungi SuaraJogja.id, Rabu (31/7/2024).

Baca Juga: Tembakau Alternatif Jadi Jurus Pemerintah Jepang Turunkan Konsumsi Rokok

Menurutnya kebijakan tersebut akan menemui rintangan ketika diterapkan. Pasalnya hal itu terlalu remeh temeh ketika kemudian dibuatkan kebijakan semacam Peraturan Pemerintah (PP).

"Tentang eceran rokok itu, bagaimana mungkin itu bisa dilakukan. Susah untuk implementasi, monitoring evaluasinya apalagi. Jadi bagaimana mungkin ketika rokok itu bisa dibuka packagingnya ya pasti batang-batang rokok itu pasti akan keluar dan pasti akan diecer terutama oleh si retailer atau bahkan oleh warung-warung kecil," ungkapnya.

Dia menilai peraturan itu tidak akan berdampak signifikan di masyarakat. Termasuk kaitannya dengan upaya pembatasan jumlah perokok di Indonesia. 

"Itu kan sesuatu yang sangat kecil sekali, tidak akan punya signifikansi kalau berkaitan dengan pembatasan jumlah perokok di Indonesia, kan yang mau dites soal itu, tapi apakah itu akan bisa menjawab, ya enggak akan efektif," ujarnya. 

Tidak dimungkiri memang PP tersebut bagian dari upaya pemerintah untuk membatasi jumlah perokok yang semakin bertambah besar di Indonesia. Namun, langkah itu dinilai tidak akan berjalan terlalu efektif. 

Baca Juga: Pemerintah Larang Jual Rokok Eceran, Bagaimana dengan Cerutu dan Vape?

"Kita tidak bisa menjadikan PP ini sebagai sebuah pembahasan yang strategis, karena sebetulnya ini sangat kecil, bisa jadi juga sangat tidak signifikan untuk menghasilkan apa yang dibahas oleh pemerintah itu. Karena praktiknya ya susah sekali untuk kemudian tidak mengecer rokok itu," terangnya.

Dia mengambil contoh praktik penjualan rokok eceran di warung-warung kecil. Maupun kemudian untuk konteks Yogyakarta berkaitan erat dengan angkringan.

Kondisi ini tidak bisa dilepaskan pula dari daya beli konsumen atau masyarakat itu sendiri terhadap rokok eceran. Tidak semua warga kemudian mampu atau mau membeli satu bungkus rokok sekaligus.

"Sebetulnya itu malah tidak eksesif malahan, karena desain disesuaikan dengan daya beli. Kalau harus membeli lebih banyak ya itu pemborosan untuk konsumen sendiri kan. Jadi dia sudah membatasi sendiri untuk tidak mengonsumsi satu pack, tapi hanya ingin mengicip sebagian kecil disesuaikan dengan daya beli," ungkapnya.

Mengecer rokok, kata AB justru merupakan pilihan yang lebih pas dan praktis melihat dari dasar rasionalitas daya beli masyarakat. Sehingga memang keinginan pemerintah yang dituangkan dalam PP tersebut tidak cocok dengan realitas yang ada.

"Nanti kesulitan bagi Satpol PP, bea cukai, untuk melacak praktik semacam itu. Itu nanti kemudian kalau ada pelanggaran, ada hukumnya atau tidak. Kalau kemudian itu ada sanksi hukumnya, akan penuh penjara itu nanti, kan jadi tidak strategis kan, itu yang sebetulnya tidak paradigmatik. Jadi planningnya apa sesungguhnya enggak jelas," tandasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI