Suara.com - Suasana duka menyelimuti Gaza Tengah ketika serangan udara Israel menghantam sebuah sekolah putri di Deir al-Balah, yang digunakan sebagai tempat pengungsian bagi warga Palestina. Sedikitnya 30 orang tewas dalam serangan tersebut, termasuk tujuh anak-anak dan tujuh perempuan. Kejadian tragis ini terjadi saat para negosiator Israel bersiap untuk bertemu dengan mediator internasional membahas usulan gencatan senjata.
Sekolah yang menjadi tempat berlindung ribuan warga Palestina ini kini berubah menjadi reruntuhan. Di antara puing-puing, terlihat bantal-bantal yang sebelumnya digunakan oleh para pengungsi, sementara dinding yang hancur menganga, menunjukkan bekas kekejaman serangan tersebut. Pemandangan memilukan lainnya terlihat saat seorang wartawan Associated Press menyaksikan tubuh seorang balita di dalam ambulans, tertutup selimut.
Kecaman dan Klaim Bertolak Belakang
Militer Israel mengklaim bahwa serangan tersebut menargetkan pusat komando Hamas yang digunakan untuk mengarahkan serangan terhadap pasukan Israel serta menyimpan "sejumlah besar senjata". Namun, Hamas segera membantah klaim ini, menyatakan bahwa serangan tersebut tidak berdasar dan hanya menambah penderitaan warga sipil.
Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan bahwa serangan ini bukanlah satu-satunya tragedi yang terjadi pada hari itu. Setidaknya 12 orang lainnya tewas dalam serangan terpisah di berbagai wilayah Gaza, menambah panjang daftar korban jiwa akibat konflik yang semakin memanas.
Baca Juga: Respons Israel soal Serangan Roket di Lapangan Sepak Bola Golan yang Tewaskan 12 Orang
Pertemuan Diplomatik di Tengah Krisis
Di tengah ketegangan yang semakin memuncak, pejabat dari Amerika Serikat, Mesir, Qatar, dan Israel dijadwalkan bertemu di Italia untuk membahas kemungkinan gencatan senjata. Pertemuan ini diharapkan dapat menjadi langkah awal menuju perdamaian yang lebih langgeng di wilayah yang terus dilanda konflik.
Evakuasi dan Krisis Kemanusiaan
Sementara itu, di lapangan, militer Israel mengeluarkan perintah evakuasi baru di bagian zona kemanusiaan di Gaza. Langkah ini diambil menjelang serangan yang direncanakan di Khan Younis, menyusul tembakan roket yang menurut Israel berasal dari daerah tersebut. Zona kemanusiaan yang dipenuhi kamp-kamp tenda ini kini menjadi saksi bisu penderitaan ribuan warga Palestina yang harus berpindah-pindah tempat tanpa kepastian.
Mohammad Jaber, seorang pengungsi yang telah kesekian kalinya harus berpindah tempat, mengungkapkan keputusasaannya. "Setiap kali mereka memberitahu kami untuk pergi ke suatu daerah, dan itu tidak aman. Kali ini, kami tidak tahu harus pergi ke mana," ujarnya sambil mengelap keringat di wajahnya, di tengah persiapan pindah yang dilakukan anak-anaknya.
Korban di Tepi Barat
Tragedi serupa juga terjadi di Tepi Barat yang diduduki. Seorang remaja berusia 17 tahun dan seorang pria berusia 24 tahun tewas akibat serangan drone Israel di kamp Balata, Nablus. Kementerian Kesehatan Palestina melaporkan bahwa serangan ini juga melukai 22 orang lainnya.
Harapan untuk Gencatan Senjata
Di tengah kekacauan ini, warga Israel di Tel Aviv menggelar demonstrasi anti-pemerintah, menuntut gencatan senjata dan pembebasan sandera yang masih tersisa. "Ada kesepakatan di atas meja dan kita perlu mewujudkannya, dan kita perlu mewujudkannya sekarang," ujar Tamir Guytsabary, salah satu demonstran.
Baca Juga: Judoka Tajikistan Kalahkan Atlet Israel, Tolak Jabat Tangan dan Serukan 'Allahu Akbar'
Perang di Gaza telah menelan lebih dari 39.200 korban jiwa warga Palestina, dengan ribuan anak-anak yang kini menjadi yatim piatu. PBB memperkirakan jumlah anak tanpa pendamping ini terus meningkat seiring berlanjutnya konflik.