Revitalisasi Seni Tradisional untuk Masa Depan Kebudayaan Indonesia

Vania Rossa Suara.Com
Sabtu, 27 Juli 2024 | 19:36 WIB
Revitalisasi Seni Tradisional untuk Masa Depan Kebudayaan Indonesia
Seniman maestro Yogyakarta, Didik Nini Thowok, memeriahkan acara pembukaan pameran seni di GRAMM Hotel by Ambarrukmo, Rabu (3/7/2024). (Dok.Istimewa)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Seni tradisional Indonesia, sebagai benteng kebudayaan Nusantara, semakin tergerus di tengah arus perubahan zaman. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbudristek RI), dari total 71 seniman budaya tradisional yang menerima penghargaan Anugerah Kebudayaan Indonesia, hanya 43 orang yang masih hidup dan tersebar di seluruh Indonesia.

Semakin miris, mengingat minat generasi muda terhadap kesenian tradisional yang masih rendah. Tanpa strategi budaya yang efektif, seni tradisional ini berisiko hilang ditelan zaman. Padahal, seni tradisional yang dikelola dengan baik adalah aset yang dapat mendorong kemajuan bangsa.

Oleh karena itu, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan terus fokus mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan (UUPK), yang telah membawa transformasi signifikan dalam pengelolaan kebudayaan di Indonesia.

Eko Supriyanto, koreografer dan dosen tari dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, yang ditemui pada acara Mata Najwa On Stage “Panggung Warisan Budaya” pekan lalu menyebutkan bahwa dukungan pemerintah untuk memajukan seni tradisional saat ini sudah sangat baik, mengurangi keresahan yang sebelumnya dirasakan oleh pelaku seni dan budaya tradisional.

Baca Juga: Ditjen Kebudayaan Mendorong Pemenuhan Hak Jaminan Sosial Bagi Pelaku Budaya

“Sebetulnya, saat ini kami sudah tidak resah. Kami yakin dengan adanya Direktorat Jenderal Kebudayaan yang dipimpin oleh Pak Hilmar (Dirjen Kebudayaan) dan Pak Mahendra (Direktur Perfilman) yang sangat mendukung, keresahan ini sudah berubah menjadi geliat yang menantang. Tradisi kita semakin baik,” tuturnya.

Dalam mengelola kebudayaan, perencanaan kebijakan kini bersifat partisipatif, melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan secara langsung (bottom-up). Pemerintah beralih peran dari eksekutor menjadi fasilitator, mendukung inisiatif dan aspirasi masyarakat dalam memajukan kebudayaan.

Fokus intervensi kebijakan juga bergeser dari yang semula terpaku pada cabang-cabang budaya tertentu, menjadi pendekatan holistik pada ekosistem kebudayaan secara keseluruhan. Hal ini memastikan keberlanjutan setiap praktik dan ekspresi budaya yang ada.

Salah satu nama besar di bidang seni tradisional, Didik Nini Thowok, yang telah berkarya hampir 50 tahun, turut merasakan perubahan positif dari pengelolaan kebudayaan saat ini.

Menurutnya, kehidupan seni tradisional yang mengandalkan pertunjukan dari panggung ke panggung semakin terpuruk selama pandemi. Dia sangat bersyukur dengan program-program dari Direktorat Jenderal Kebudayaan yang tidak hanya menghidupkan kesenian tradisional tetapi juga membantu perekonomian pelaku seni budaya tradisional. 

Baca Juga: Kids Biennale Indonesia Ajak Anak Kritisi Perundungan Hingga Intoleransi Lewat Karya Seni

“Pada saat pandemi, saya sempat jatuh, tapi berkat program-program dari Pak Dirjen, saya diberikan kesempatan untuk terus berkarya,” tuturnya. 

Didik, yang telah berkarya selama 49 tahun, telah meraih berbagai penghargaan baik di tingkat lokal maupun internasional.

Program-program seperti Dana Indonesiana dan Pekan Kebudayaan Nasional telah mengaktifkan peran pemerintah sebagai fasilitator, meningkatkan kualitas tata kelola layanan kebudayaan, membuka akses dan menjamin pemerataan kesempatan, serta mendorong inovasi dan partisipasi publik dalam pemajuan kebudayaan.

Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek RI, Hilmar Farid, menyatakan bahwa seni tradisi seringkali bukan sekadar tontonan, melainkan bagian dari ritual dengan makna yang mendalam. Menurutnya, ketika masyarakat bergerak menuju modernitas, praktik spiritual dan kultural ini cenderung memudar, membuat apresiasi terhadap seni tradisi menjadi sulit. 

“Solusinya adalah memperbarui atau memodifikasi seni tradisi agar lebih mudah diakses. Misalnya, menghadirkan versi ringkas dari tarian panjang tanpa menghilangkan maknanya. Penting juga memasukkan seni tradisi dalam pendidikan, agar masyarakat memahami bahwa ini bukan hanya tontonan, tetapi bagian dari praktik kultural dan spiritual. Edukasi ini penting untuk mengurangi kesenjangan apresiasi seni tradisi,” tutup Hilmar.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI