Emirsyah dinilai terbukti mengubah rencana kebutuhan pengadaan pesawat dari 70 kursi menjadi 90 kursi, tanpa terlebih dahulu ditetapkan dalam rencana jangka panjang perusahaan.
Ia juga diyakini memerintahkan bawahannya untuk mengubah kriteria pemilihan dalam pengadaan pesawat di Garuda Indonesia tanpa persetujuan dari dewan direksi.
Emirsyah pun dinilai jaksa telah terbukti bersekongkol dengan Soetikno selaku penasihat komersial Bombardier dan Avions De Transport Regional (ATR) untuk memenangkan Bombardier dan ATR dalam pemilihan pengadaan pesawat di Garuda Indonesia.
Padahal, pesawat jenis Bombardier CRJ-1000 dan ATR 72-600 tidak sesuai dengan konsep bisnis Garuda Indonesia yang menyediakan pelayanan penuh.
Perbuatan Emirsyah Satar tersebut didakwa mengakibatkan kerugian keuangan negara pada Garuda Indonesia dengan jumlah total 609,81 juta dolar AS.
Ini bukan kali pertama Emirsyah diadili di meja hijau. Sebelumnya, Emirsyah Satar telah divonis dalam perkara berbeda.
Pada 8 Mei 2020, Dirut PT Garuda Indonesia 2005–2014 itu divonis 8 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 3 bulan kurungan serta dihukum membayar uang pengganti sebesar 2,11 juta dolar Singapura.
Vonis tersebut sebagai akibat Emirsyah yang telah terbukti menerima suap senilai Rp49,3 miliar dan pencucian uang sebesar Rp87,464 miliar.