Suara.com - Munculnya penolakan partisipasi perempuan Aceh dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 menuai protes. Balai Syura Ureung Inong Aceh (Balai Syura) dan seluruh elemen gerakan perempuan menegaskan bahwa memilih dan dipilih dalam Pemilu dan Pilkada menjadi hak politik Warga Negara Indonesia, termasuk perempuan Aceh.
Ketua Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh Khairani Arifin menjelaskan bahwa negara juga telah punya jaminan atas pemenuhan hak tersebut.
"Hal ini sejalan dengan prinsip non-diskriminasi dan kesetaraan substantif yang dinyatakan dalam Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, Undang-Undang No. 7 Tahun 1984," kata Khairani dalam keterangannya kepada suara.com, Selasa (23/7/2024).
Khairani menegaskan, dala. UU Pemerintah Aceh (UUPA) maupun UU terkait pilkada pun tak ada larangan terkait tokoh perempuan ikut serta.
Bahkan dalam UUPA Pasal 8 Qanun Aceh tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan juga telah ditegaskan terkait jaminan atas hak perempuan untuk menduduki posisi jabatan politik di eksekutif maupun legislatif secara proporsional.
"Karenanya larangan bagi perempuan Aceh untuk mencalonkan diri dalam Pilkada merupakan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan dan perampasan hak konstitusional perempuan," tegasnya.
Dia mencontohkan sejumlah tokoh perempuan dalam Islam yang juga pernah jadi pemimpin seperti Siti Khadijah, Siti Aisyah, dan Siti Fatimah dalam mendukung dan menyebarkan ajaran Islam, tanpa melarang mereka untuk berpartisipasi dalam kepemimpinan politik.
Sehingga, menurut Khairani, pelarangan perempuan maju dalam Pilkada Aceh justru menunjukan sempitnya penafsiran Al Quran.
Aceh sendiri memiliki warisan kepemimpinan perempuan yang kuat dengan 4 Ratu yang memimpin Aceh selama 59 tahun, yang didukung oleh dua ulama besar, Nuruddin Ar-Raniri dan Abdurrauf As-Sinkili.
Baca Juga: Bertema 'Menang Pilkada, Menangkan Rakyat', Mukernas PKB Bahas Isu Strategis
"Ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki tempat yang penting dalam sejarah kepemimpinan di Aceh. Oleh karenanya, penting bagi publik di Aceh untuk mempelajari kembali sejarah ini guna menghindari kesalahpahaman dan merawat ingatan bersama," kata Khairani.