Suara.com - Selasa 9 Juli 2024, palu dalam Rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tiba-tiba diketuk, "tok,tok,tok," menandakan Revisi Undang-Undang (RUU) tetang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) disetujui untuk dibawa dalam agenda Rapat Paripurna terdekat untuk dijadikan RUU Inisiatif DPR RI.
"Dengan demikian sembilan fraksi semua menyetujui rancangan UU tentang perubahan atas UU nomor 19 tahun 2006 menjadi draf usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia," kata Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas usai mengetuk palunya dalam rapat.
Sekilas tampak biasanya saja Baleg DPR RI menggelar rapat untuk mengambil keputusan. Namun hari itu sejatinya ada yang beda.
Semuanya serba mendadak. Tak terkecuali buat awak media yang meliput di Parlemen. Bukan tanpa sebab, tak pernah ada pembicaraan sebelumnya, tiba-tiba muncul agenda Baleg DPR RI menggelar rapatnya untuk pengambilan keputusan Revisi UU Wantimpres untuk dijadikan RUU Inisiatif DPR RI.
Baca Juga: Tuai Polemik, Yusril Tanggapi Wacana DPA Dihidupkan Lagi Lewat RUU Wantimpres, Simak!
Tambah mengherankan lagi, revisi ini dilakukan untuk mengubah nomenklatur nama Wantimpres diganti menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
"Perubahan yang ada di dalam sini itu hanya terkait soal, satu, menyangkut soal perubahan nomenklatur yang tadinya itu Dewan Pertimbangan Presiden menjadi Dewan Pertimbangan Agung," ujar Supratman usai rapat.
"Dari mana berasal?, ya itu dari aspirasi keinginan dari semua fraksi tadi menyetujui seperti itu," tambahnya.
Selain perubahan nama, Wantimpres juga dengan nama DPA ini nantinya akan dipilih langsung oleh Presiden. Jadi, ketua maupun anggotanya akan dipilih langsung oleh sang Kepala Negara itu. Bahkan tak ada limitasi jumlah anggotanya.
"Karena itu presiden akan menetapkan anggotanya berapapun itu sesuai kebutuhan presiden termasuk ketuanya juga nanti akan ditetapkan oleh Presiden," kata Supratman.
Baca Juga: Mau Gabung DPA Di Pemerintahan Prabowo? Jokowi Tegaskan Rencana Pensiun Jadi Rakyat Biasa Di Solo
DPA sendiri sebenarnya sudah pernah ada sejak era Orde Lama dan Orde Baru. Hal itu sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Ayat 2 pasal ini menyatakan bahwa DPA berkewajiban memberi jawaban atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah. Dalam penjelasan Pasal 16 disebutkan bahwa DPA berbentuk Council of State yang wajib memberi pertimbangan kepada pemerintah.
Namun seiring berjalannya waktu UUD 1945 dilakukan Amendemen dalam perubahan keempat. Kehadiran DPA pun ditiadakan, kemudian munculnya Wantimpres.
Beberapa hal tadi mungkin saja bisa diamini, namun yang menjadi pertanyaan awak media mengapa Revisi UU Wantimpres salah satunya menghadirkan lagi DPA ini nampaknya begitu mendesak, apakah ini demi kepentingan pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto atau apa.
"Nggak ada (permintaan dari Prabowo), itu kita, kita berpikiran bahwa yang begini begini tidak perlu ada limitasi, kita serahkan kepada presiden karena kita menganut sistem presidensial," terang Supratman.
Dua hari berselang 11 Juli 2024, ketika wacana kehadiran DPA kembali ini masih menjadi pembicaraan.
"Tok, tok, tok," palu sidang di DPR RI kembali berbunyi.
"Kini tiba saatnya kami menanyakan kepada sidang dewan yang terhormat apakah rancangan undang-undang usul inisiatif badan legislasi DPR RI tentang perubahan atas undang-undang nomor 19 tahun 2006 tentang dewan pertimbangan presiden (Wantimpres) dapat disetujui menjadi rancangan undang-undang usul DPR RI?," tanya Wakil Ketua DPR RI Lodewijk F Paulus dalam rapat kepara anggotanya.
"Setuju," jawab kompak para anggota DPR RI yang hadir tanpa ada interupsi ataupun diwarnai perdebatan.
Hal itu pun semakin menguatkan jika Revisi UU Wantimpres untuk menghadirkan kembali DPA semakin dikebut.
Benarkah DPA Pesanan?
"Dari proses perencanaan yang tergesa-gesa terlihat bahwa kemunculan RUU Wantimpres di penghujung periode ini tak bisa tidak untuk persiapan pemerintahan baru yang akan datang," begitu ucap Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi),
kepada Suara.com.
Bukan tanpa alasan, Lucius menilai seperti itu lantaran beberapa Revisi Undang-Undang sebelumnya seperti mengenai Polri-TNI hingga Kementerian Negara juga dibahas begitu cepat.
"Jadi jelas unsur pesanan dalam perencanaan dan pembahasan RUU-RUU tersebut sangat jelas terlihat," sambungnya.
Ia pun membeberkan bahayanya soal RUU dibahas dan disetujui oleh DPR karena adanya pesanan.
"Bahaya segera terlihat ketika UU hanya dibuat untuk memenuhi pesanan. Sulit rasanya melihat hasil yang berkualitas atau terakomodirnya kepentingan publik. Bahkan sekedar untuk melibatkan publik dalam proses pembahasan pun rasanya tutur dia.
Melihat adanya kekhawatiran itu, Ketua DPR RI Puan Maharani mengingatkan kepada jajarannya agar berhati-hati dalam pembahasan Revisi Undang-Undang Wantimpres untuk menghadirkan kembali DPA.
"Yang pasti jangan sampai kemudian nanti hal yang akan kita bahas ini kemudian menyalahi UU apalagi UUD" kata Puan tak lama usai Rapat Paripurna 11 Juli 2024.
Harusnya Lewat Amendemen
"Ya kita lihat aja nanti. Kan sudah disetujui. Cuma, kalau begitu kan kita kembali ke Undang Undang Dasar 1945 dong, keberadaan DPA," kata Ketua Badan Pengkajian MPR RI, Djarot Saiful Hidayat.
Djarot menekankan, jika DPA memang ingin dihadirkan kembali maka harus dikaji lagi lewat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Wacana menghadirkan kembali DPA juga perlu dipertanyakan kepada Ahli Hukum Tata Negara. Terutama soal kehadirannya pernah ada sebelum di amendemen dalam UUD 45.
"Untuk kenegarawanan itu kan perlu dibreakdown seperti apa. Ya. Jadi, biarkan nanti ini ahli hukum tata negara yang bisa menjelaskan. Karena termasuk usul ini termasuk proses yang kilat. Cepat," ujarnya.
"Saya ditugaskan di badan pengkajian MPR itu belum pernah membahas amendemen terkait dengan keberadaan DPA ini. Dewan Pertimbangan Agung yang sesuai dengan jiwa dan semangat UUD yang asli lho ya," imbuhnya.
Bisa Dijabat SBY, Megawati Hingga Jokowi
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI fraksi PKB, Luluk Nur Hamidah, menyebut jika DPA bisa saja diisi oleh mantan-mantan Presiden. Terlebih kepada Joko Widodo atau Jokowi yang akan berakhir masa jabatannya.
Dalihnya sih, hal itu bisa dilakukan sebagai bentuk penghargaan kepada para figur pemimpin bangsa.
"Itulah tempat yang mulia untuk para orang-orang yang mulia itu memberikan pertimbangan, masukan agar arah Indonesia menjadi lebih baik," kata Luluk.
Namun lagi-lagi, sama seperti ucapan para politisi lainnya, Luluk bersembunyi dibalik kalimat "DPA itu tergantung hak prerogratif Presiden nantinya,".
Jokowi ditanya apakah dirinya mau menjadi anggota DPA, mengingat sejumlah pihak menginginkan hal tersebut. Sebaliknya apakah akan kembali ke Solo sebagai warga biasa?
Menjawab hal ini, Jokowi menegaskan ihwal rencananya sejak awal yang sampai saat ini belum berubah, yaitu kembali ke Solo.
"Sampai saat ini rencana saya masih belum berubah," kata Jokowi dalam sebuah wawancara bersama The Economist yang ditayangkan di laman Youtube, Minggu (13/11/2022).
Benarkah DPA Hadirkan Kembali Inkonstitusional?
Dihadirkannya kembali DPA ini dinilai hanya akan menabrak konstitusi. DPA dianggap sudah dihapuskan dalam UUD 1945.
"Jadi pasal-pasalnya sudah dihapuskan, lembaga ini pun dihapuskan, dibubarkan. Tidak boleh kemudian ada pembentukan lembaga yang senama atau lain-lainnya berdasarkan ketentuan dan prinsip-prinsip berkonstitusi. Jadi, bagi saya dipaksakan ketentuan ini munculnya, mengada-ada," kata Ahli Hukum Tata Negara, Feri Amsari kepada Suara.com.
Kalaupun Wantimpres hanya berganti nama jadi DPA itu jelas-jelas dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.
Feri minta para anggota DPR RI yang terhormat diminta belajar lagi soal Hukum Tata Negara.
"Jika Anda (DPR RI) belajar konstitusi, terutama atas cara pembentukan Undang-Undang Dasar atau konstitusi, konsep kita itu adalah kalau namanya huruf kecil, dia bisa berganti nama. Misalnya, Bank Sentral, kan disebutkan Indonesia memiliki sebuah Bank Sentral," terang Feri.
"Nah, dalam Undang-Undang dinamakan Bank Sentral itu Bank Indonesia. Itu boleh, karena huruf kecil di Undang-Undang Dasar. Tapi kalau dia huruf besar, seperti Dewan Pertimbangan Agung, huruf kapital, maka nama yang digunakan harus sama persis. Begitu juga sebaliknya, kalau dia dihapuskan, artinya penamaan pun tidak boleh sama," sambung dia.
Dalam UUD 45 jelas-jelas keberadaan DPA dihapuskan. Kemudian dimunculkan Wantimpres yang berbentuk lembaga yang berada di bawah Presiden.
Tak ada lagi yang namanya lembaga seperti DPA yang tugasnya menasihati presiden. Kalau lembaga penyeimbang presiden sudah ada dalam bentuk DPR RI dan DPD RI.
"Jadi aneh kalau kemudian ada Dewan Pertimbangan Agung yang di luar kekuasaan atau naungan kekuasaan presiden. Nah, itu yang menyebabkan janggal dan aneh kalau kemudian kita ingin memaksakan lembaga ini hadir," katanya.
Feri juga menyoroti jika DPA dihadirkan lagi. Maka statusnya akan menjadi lembaga setkngkat presiden dan itu sangat berbahaya.
"Mari kita coba bayangkan ya, pertama kalau dia adalah lembaga terpisah, maka peran orang yang mengisi posisi itu akan sangat kuat, dia setara presiden. Jadi kalau kemudian ada dugaan bahwa ketua DPA nanti akan ditunjuk adalah presiden Jokowi, dia akan sangat powerful ya, kemudian memberikan saran masukan," katanya.
"Bagaimana kalau dia mengatakan, dia sudah memberikan masukan kepada presiden dan presiden tidak mendengarkan, apa dampak politik, dampak sosialnya dengan sikap begitu? Akan ada perseteruan kekuasaan," sambung dia lagi.
Feri menegaskan, penilaiannya itu bisa saja dianggap sebagai imajinasi belaka dan hanya sebagai bayangan belaka. Namun disitu lah tugas Ahli Hukum Tata Negara yang berpikir harus membayangkan seperti apa negara terjadi ke depannya.
"Oleh karena itu, bagi saya, berhati-hati dengan pilihan politik ini. Saya merasa ada sesuatu yang akan benar-benar terjadi, dan ini tidak sehat bagi ketatanegaraan kita. Bagaimana mungkin konstitusi yang eksplisit seperti itu hendak ditabrak dan dilanggar? Hebatnya, pelaku yang akan menabrak dan melanggar itu adalah bagian dari presiden terpilih sendiri, teman-teman partai Gerindra di sana," tuturnya.
Dalam kesempatan berbeda, Wakil Ketua MPR RI fraksi Gerindra Ahmad Muzani menberikan jawabnnya soal kehadiran DPA lewat Revisi UU Wantimpres merupakan inkonstitusional.
Ia menyebut kalau wacana dihadirkannya kembali DPA lewat revisi pasti sudah melewati kajian mendalam DPR RI.
"Nanti akan dikaji lagi. Kita tunggu pembahasan. Karena itu masih dalam proses pembahasan," kata Muzani di Komplek Parlemen, Senayan, Selasa 16 Juli 2024.
Kini sama-sama kita tunggu pembahasan Revisi UU Wantimpres. Kemungkinan revisi ini akan segera dibahas DPR RI bersama dengan pemerintah usai masa reses DPR RI selesai Agustus 2024 mendatang.