Demi Hak Konstitusional Orang Asli Papua, UU Otsus Digugat ke MK

Senin, 15 Juli 2024 | 16:03 WIB
Demi Hak Konstitusional Orang Asli Papua, UU Otsus Digugat ke MK
Koordinator Tim Advokasi Konstitusi dan Demokrasi, Amus Yanto Ijie (kiri). (Suara.com/Dea)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tim Advokasi Konstitusi dan Demokrasi menggugat judicial review Undang-undang Otonomi Khusus (Otsus) Provinsi Papua ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Koordinator Tim Advokasi Konstitusi dan Demokrasi, Amus Yanto Ijie, menilai beberapa pasal pada undang-undang nomor 2 tahun 2021 itu menghilangkan hak konstitusional Orang Asli Papua (OAP).

“Pasal-pasal ini berpotensi menghilangkan hak konstitusional Orang Asli Papua untuk dapat mengisi jabatan eksekutif dan legislatif di tanah Papua dan menjalankan pemerintahannya sendir,” kata Yanto di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (15/7/2024).

Pasal 1 ayat (22) UU 2/2021 terdapat frasa yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum. Frasa Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri atas suku-suku asli Provinsi Papua dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai Orang Asli Papua oleh Masyarakat Adat Papua.

Baca Juga: Polisi Buru Polisi, Polda Papua Cari Bripda Aske Karena Curi 4 Pucuk Senpi Polres Yalimo

Dia menyebut frasa tersebut seharusnya dibaca ‘Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari Suku-Suku Asli Papua di Provinsi Papua’.

“Ketentuan Pasal 6A UU 2/2021 juga tidak sejalan dengan prinsip otonomi khusus Papua di mana ketentuan pasal 6A masih memberikan kewenangan terlalu besar di partai politik di pusat untuk menentukan Pimpinan DPRP maupun DPRK di wilayah Papua,” ujar Yanto.

“Membedakan antara pemerintahan daerah DPRD atau nama lain seperti DPRP dan DPRK di Papua dengan Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-Wakil Bupati dan Walikota-Wakil Walikota adalah inkonstitusional karena kedua lembaga itu menjalankan pemerintahan daerah secara Bersama-sama,” tambah dia.

Untuk itu lanjut Yanto, kalau ketentuan Pasal 12 UU 2/2021 mengatur tentang kekhususan Orang Asli Papua menjadi Gubenur-Wakil Gubernur, maka seharusnya Bupati-Wakil Bupati, Walikota-Wakil Walikota dan Pimpinan DPRP dan DPRK harusnya juga berasal dari Orang Asli Papua.

Baca Juga: Meki Nawipa Dapat Restu PPP, Siap Berjuang di Pilgub Papua Tengah 2024

“Harus ditambah Pasal 6B di antara Pasal 6A dengan Pasal 7 selengkapnya dibaca berbunyi ‘Pimpinan DPRP/K adalah Orang Asli Papua yang berasal dari partai politik pemenang pemilu sesuai ketentuan perundang-undangan’,” ucap Yanto.

Kemudian pada pasal 20 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (4) UU 2/2021 terdapat ketentuan yang dinilai multitafsir yang membatasi tugas dan kewenangan Majelis Rakyat Papua (MRP).

Ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf a menyebutkan MRP mempunyai tugas dan wewenang memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur.

Yanto menyebut seharusnya MRP sebagai lembaga representasi kultural Orang Asli Papua dari berbagai daerah Kabupaten/Kota juga memiliki tugas dan kewenangan untuk memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Calon Bupati/Wakil Bupati dan Walikota-Wakil Walikota dan Pimpinan DPRP Provinsi dan DPRK Kabupaten/Kota.

Koordinator Tim Advokasi Konstitusi dan Demokrasi, Amus Yanto Ijie (kiri). (Suara.com/Dea)
Koordinator Tim Advokasi Konstitusi dan Demokrasi, Amus Yanto Ijie (kiri). (Suara.com/Dea)

“Bahkan secara Politik, MRP harus memiliki wewenang untuk memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap calon anggota DPR RI, calon anggota DPR RI, calon anggota DPR Provinsi dan calon DPRD Kabupaten/kota yang diusulkan oleh Partai Politik dan penyelenggara pemilu,” tutur Yanto.

Lebih lanjut, Yanto menilai keterwakilan OAP di lembaga perwakilan rakyat baik lokal maupun pusat sebagai masalah penting sebelum diintroduksinya UU 21/2001.

“Rendahnya OAP di lembaga-lembaga perwakilan rakyat berpotensi berimplikasi pada ancaman disintegrasi bangsa, yakni masalah dasar Papua tidak atau kurang terangkat, dan OAP tidak atau kurang terlibat dalam pengambilan keputusan politik tingkat lokal dan nasional,” ungkap Yanto.

Dia menegaskan OAP harus diberikan porsi lebih duduk dalam pemerintahan (eksekutif dan legislatif) di luar DPRP Fraksi Otsus untuk mengangkat harkat dan martabat OAP agar tidak menimbulkan malasah disitegrasi bangasa.

“Lahirnya nomenklatur baru DPRP dan DPRK tidak mungkin akan merubah taraf hidup OAP. Kondisi obyektif menunjukkan bahwa DPRP yang diangkat dan duduk di Fraksi Otsus di provinsi sesuai ketentuan UU Otsus maupun yang duduk dalam DPRK yang diangkat tidak menyelesaikan masalah," kata dia.

"Ketika dibuat studi komparasi pengambilan keputusan di DPRP dan DPRK di daerah kabupaten/kota yang masyarakatnya heterogen pasti OAP akan kalah dalam proses demokrasi. Ketentuan 80 persen banding 20 persen hanya retorika belaka, dan menjadi pemicu konflik di daerah karena tidak diatur dalam regulasi daerah,” Yanto menambahkan.

Dia mengaku upaya untuk masyarakat Papua ini tidak bertujuan untuk praktik politik identitas, melainkan membantu pemerintah untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat Papua.

“Otsus telah menyentuh rakyat masyarat Papua hanya saja penyelenggara negara dalam implememtasinya sering membelokan Filosofi Otsus yaitu Perlindungan, Afirmasi, keberpihakan kepada OAP,” tandas Yanto.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI