Suara.com - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur memberikan catatan mengenai modus pada kasus dugaan kekerasan yang dilakukan kepolisian, termasuk pada kasus dugaan penganiayaan Afif Maulana.
Indikator pertama yang dicatat Isnur yakni penyangkalan dari pihak kepolisian bila ada oknumnya yang terlibat menjadi pelaku kekerasan.
Bukan hanya pada kasus kematian Afif, penyangkalan pihak kepolisian juga terjadi di awal kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J oleh mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo.
"Tidak ada unsur di mana curiosity, penasaran. Tidak ada unsur sesuai dengan SOP di mana polisi wajib menyelidiki. Itu jelas pelanggaran SOP kepolisian sejak awal. Tugasnya adalah membongkar, ini nggak, dari awal sudah bilang tidak ada pelanggaran," kata Isnur di Kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Selasa (2/7/2024).
Baca Juga: Kapolri Ngaku Kerahkan Itwasum dan Propam Mabes Tangani Kasus Kematian Afif Maulana
Catatan berikutnya, tidak ada pengungkapan perkara dengan cepat. Isnur menyebut ketika LBH Padang dan keluarga Afif melapor ke Polresta Padang, tidak ada upaya dari kepolisian untuk langsung memeriksa tempat kejadian perkara (TKP).
“Yang berikutnya, tidak ada biasanya nih, proses-proses seperti ini hanya menyangkut kode etik kode etik. Susah sekali untuk membawa kasus seperti ini mempidanakan perlakunya,” ujar Isnur.
“Jangankan pembunuhan, pemukulan, penyundutan rokok, apalagi penyetruman, itu adalah semua tindak pidana yang seharusnya seluruh aparat yang melakukan diproses pidana,” tambah dia.
Keempat, Isnur menyebutkan, biasanya kasus kekerasan yang dilakukan polisi ditemukan adanya CCTV yang rusak. Dalam kasus Afif, disebutkan bahwa CCTV Polsek Kuranji mati.
Hal tersebut juga terjadi dalam kasus Sambo, kala itu CCTV di Rumah Dinas Sambo di Duren Tiga rusak pada saat kejadian pembunuhan Brigadir J.
Baca Juga: LBH Padang Ungkap 7 Teman Afif Maulana Juga Alami Luka Kekerasan
“Ini kalau kita melihat dalam banyak temuan Ombudsman, ini yang disebut dengan rekayasa. Ini adalah manipulasi, upaya menghilangkan barang bukti,” ucap Isnur.
Proses Visum
Modus lainnya yang diungkap Isnur adalah upaya menghalang-halangi keluarga atau pihak pengacara untuk terlibat dalam proses visum atau autopsi.
“Di kasus Brigadir J, keluarga korban tidak boleh membuka selumbung atau kafan. Langsung dikuburkan. Di kasus ini sama. Tidak boleh difoto. Ada upaya penekanan,” kata Isnur.
“Itu bagian utuh dalam logika kriminologi, dalam logika hukum acara pidana, dalam logika hukum penyidikan. Dia adalah bagian menutup sesuatu yang hendak orang tidak tahu,” lanjut dia.
Catatan keenam, Isnur menyebut penangkapan dengan penyiksaan umumnya dilakukan tanpa ada pendampingan. Padahal, dalam undang-undang perlindungan anak dan peraturan Kapolri disebutkan bahwa penangkapan anak mesti didampingi oleh orang tua, pendamping sosial, dan pengacara.
“Risetnya YLBHI menemukan menemukan semakin besar penangkapan tanpa pendampingan pengacara, semakin besar penyiksaan terjadi. 80 persen kasus yang ditangkap oleh polisi yang dilakukan dapat penyiksaan saat penangkapan,” ungkap Isnur.
Ketujuh, dia menyebutkan umumnya kepolisian menyerahkan buang santuan kepada korban. Dia menjelaskan dalam hukum perdata, pemberian uang santuan merupakan bentuk pengakuan dan rasa bersalah.
Catatan lainnya ialah adanya upaya mengkondisikan saksi. Dalam kasus Afif, misalnya, saksi-saksi yang umumnya masih berusia anak dan remaja itu ditangkap dan diperiksa tanpa pendampingan sehingga memungkinkan terjadinya pengkondisian.
Terakhir, Isnur menjelaskan pihak kepolisian umumnya menangani kasus kekerasan yang melibatkan anggotanya dengan tergesa-gesa dan terlalu cepat mengambil kesimpulan.
“Kami perlu diingatkan, Indonesia sejak tahun 98 sudah meratifikasi konvensi antipenyiksaan melalui Undang-Undang 5/1998. Setiap proses penyiksaan wajib dihukum maksimal apalagi pelakunya aparat,” katanya.