Suara.com - Negara dalam hal ini aparat penegak hukum masih menjadi pelaku kekerasan terhadap sipil, termasuk kepada para perempuan yang berhadapan dengan hukum. Kasus kekerasan di ranah negara ini diungkapkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Selama enam tahun terakhir, Komnas HAM telah menerima 308 pelaporan terkait kasus kekerasan berbasis gender di ranah negara. Dari ratusan pelaporan itu termasuk 106 kasus kekerasan terhadap perempuan berkonflik dengan hukum.
"Dengan rincian jenis kekerasan yang dialami oleh perempuan berkonflik dengan hukum di antaranya 15 kasus mengalami penyiksaan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia dalam proses penyidikan perempuan berkonflik dengan hukum," kata Anggota Komnas Perempuan Veryanto Sitohang dikutip dari Antara, Kamis (27/6/2024).
Menurutnya, bentuk-bentuk kekerasan itu di antaranya seperti intimidasi, penyiksaan, penelanjangan hingga pemerkosaan. Bahkan ada kasus perempuan yang disiksa oleh penyidik agar mengaku perbuatan yang tidak diperbuatnya oleh korban.
Komnas Perempuan memberikan perhatian khusus pada perempuan berkonflik dengan hukum yang menjadi tahanan ataupun warga binaan, baik yang menghadapi hukuman mati atau hukuman badan lainnya, juga kondisi perempuan yang menghadapi kondisi serupa tahanan seperti di panti-panti rehabilitasi.
"Hasil dari pendokumentasian Komnas Perempuan ini menjadi isu yang di-advokasi pada saat merumuskan UU Nomor 12 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), sehingga ada pasal khusus, yakni Pasal 11 terkait tindak penyiksaan seksual," ujarnya.
Sementara Anggota Komnas Perempuan Rainy Hutabarat menyoroti adanya infrastruktur yang tidak layak di antaranya CCTV yang tidak berfungsi atau terbatas jumlahnya di tempat-tempat tahanan dan serupa tahanan, juga layanan kesehatan mental, obat-obatan yang tidak tersedia, air bersih yang tidak memadai, dan tidak adanya ruang khusus untuk kebutuhan maternitas.
Rainy Hutabarat menambahkan bahwa kasus penyiksaan masih banyak dilakukan oleh aktor-aktor negara, baik aparat penegak hukum dalam konteks penangkapan, penyelidikan dan penyidikan maupun konteks tahanan; serta aparat pemerintahan pada dinas-dinas terkait maupun secara tak langsung sebagai pihak yang memberi izin, mengetahui, dan membiarkan.
"Pada konteks yang lain, pelaku (penyiksaan) dapat berasal dari keluarga atau orang terdekat misalnya pada isu pemasungan," katanya.
Komnas Perempuan yang tergabung dalam Tim Kerja Sama Untuk Pencegahan Penyiksaan (KUPP) terus mendesak pemerintah untuk segera meratifikasi Optional Protocol to the Convention Against Torture (OPCAT) guna menjamin mekanisme pencegahan penyiksaan.
Pemerintah Indonesia telah memiliki Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia.
Namun demikian, mekanisme untuk menjalankan pencegahan penyiksaan itu belum bisa dilakukan kalau opsional protokolnya belum diratifikasi. (Antara)