Suara.com - Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih mendesak aparat hukum untuk segera menangkap peretas alia hacker yang membobol Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2. Pelaku peretasan itu menggunakan perangkat lunak perusak (ransomware) varian lockbit untuk mengacak-acak data yang disimpan di PDNS 2.
Setelah meretas PDNS 2, pelaku peretasan itu juga meminta uang tebusan kepada pemerintah sebesar 8 juta dolar Amerika Serikat.
Pernyataan itu disampaikan Najih saat membuka Workshop Kepemimpinan dalam Era Transformasi Digital di Jakarta, Selasa (25/6/2024).
“PDN sedang diserang oleh ransomware, produk dari lockbit generasi tiga, mestinya lockbit ini harusnya dicari ini, ditangkap, yang memproduksi lockbit ini,” ucap Najih dikutip dari Antara, Rabu.
Baca Juga: Peretas Minta Uang Tebusan 8 Juta Dolar AS, Kata Maruf Amin usai PDNS 2 Dibobol Hacker
Menurut dia, pihak di balik lockbit tersebut perlu ditangkap karena telah menyerang keamanan data nasional.
“Karena telah menyerang, mengganggu proses kegiatan digital di negara kita, sehingga mengganggu data yang sedang dipakai,” ucap Najih.
Dia mengatakan, kehidupan saat ini tidak terlepas dari dunia digital. Namun, digitalisasi tidak terlepas dari tantangan, seperti peretasan yang belakangan dialami.
“Jadi, inilah situasi-situasi yang kita hadapi, maka bagaimana me-manage (mengelola) teknologi ini, karena ini diperlukan kita sebagai manusia yang mengoperasikan, memanfaatkan, itu kepemimpinan yang bagaimana yang kita sebut dengan leadership digital itu,” katanya.
Sementara itu, Chairman Lembaga Riset Siber dan Komunikasi CISSReC Pratama Dahlian Persadha mengatakan bahwa sejatinya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) telah mengatur proses hukum terhadap peretas.
Baca Juga: Darurat Keamanan Siber! 3 Website Lembaga Negara Diretas dalam Sepekan
“Ada Undang-Undang ITE Pasal 30 ayat 1, 2, dan 3; kalau hacker-nya bisa kita tangkap, itu bisa kita kenakan ancaman hukuman (paling lama) delapan tahun penjara, denda (paling banyak) Rp800 juta,” ucap Pratama yang menjadi narasumber dalam kegiatan tersebut.
Namun demikian, dia mengakui bahwa menangkap peretas, terlebih sekelas lockbit, merupakan tugas yang sulit.
“Kalau kita tahu orangnya siapa, kita bisa pakai Interpol, kerja sama, kita bisa tangkap. Ini kita cari orangnya saja enggak tahu, susah, ini yang jadi problem,” kata Pratama.
Terlepas dari itu, Pratama menekankan, kepemimpinan dan tata kelola yang baik dalam menjaga keamanan siber diperlukan agar serangan siber dapat ditekan.
“Langkah terbaik apa? Kita harus membuat tata kelola pemerintahan yang baik, kita harus membuat tata kelola manajemen IT yang baik, kita harus membuat pengamanan sistem yang baik, dan itu tidak akan bisa dilakukan kalau pimpinannya tidak mengerti masalah IT,” ucapnya.
Sebelumnya, pemerintah menyebut gangguan yang terjadi pada PDNS 2 yang menyebabkan terganggunya berbagai layanan masyarakat sejak 20 Juni 2024 merupakan akibat adanya serangan siber akibat ransomware bernama Braincipher.
"Ransomware ini adalah pengembangan terbaru dari ransomware lockbit 3.0. Jadi, memang ransomware ini dikembangkan terus. Jadi, ini yang terbaru dari yang kami lihat dari sampel setelah dilakukan forensik dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN)," kata Kepala BSSN Letjen TNI Hinsa Siburian di Jakarta, Senin (24/6).
Hinsa menjelaskan bahwa pemerintah, melalui koordinasi lintas lembaga antara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), BSSN, Cyber Crime POLRI, dan Telkom Sigma terus menelusuri serangan siber tersebut. (Antara)