Suara.com - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar alias Uceng menyebut bahwa sebenarnya delapan hakim konstitusi yang menangani perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2024 mengetahui adanya pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo.
Dia menjelaskan dalam putusan sengketa Pilpres 2024, tiga hakim konstitusi yaitu Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat memang memberikan dissenting opinion atau pendapat berbeda.
Namun, lanjut pria yang akrab disapa Uceng itu, pada putusan a quo juga disebut bahwa ada upaya politis dalam pemberian bantuan sosial yang dilakukan Jokowi selama masa kampanye.
“Jadi, hakim MK bilang, melekatkan citra diri presiden ke bantuan sosial dan sebagainya itu sebenarnya memang tidak tepat, cuma tidak ada parameter,” kata Zainal pada siniar yang ditayangkan pada Youtube Dirty Vote, Jumat (14/6/2024).
Dia menjelaskan pelanggaran pemilu yang dilakukan Jokowi memang tidak bisa dipersoalkan secara hukum karena jenisnya pelanggaran etik.
“Pelanggaran itu adalah pelanggaran etis yang tidak ada parameter pelanggaran hukumnya apa sehingga tidak cukup alasan bagi MK untuk (mengabulkan permohonan),” ujar Zaenal.
Lebih lanjut, dia menyebut bahwa hakim MK sebenarnya menyadari adanya pelanggaran etika tetapi tidak ada parameter yang cukup untuk mengabulkan permohonan dari pihak pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
“Artinya begini, mereka mungkin tidak memahami konsep etik. Konsep etik itu memang tidak perlu ada di peraturan perundang-undangan, bukan konsep normatif kan,” tutur Zaenal.
“Konsep etik itu biasanya ya foundation of the law kan, dia jadi basisnya hukum. Jadi, bukan harus tertulis pelanggaran etik ini mengakibatkan apa. Itu menurut saya kekeliruan hakim MK di situ,” tandas dia.