Keempat, mengajak ormas keagamaan untuk tetap menjadi kekuatan penjaga moral, nilai, dan etika bangsa serta terus menjadi pendamping umat demi kemaslahatan dan kesejahteraan bersama.
Kelima, meminta pemerintah tegas melakukan penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan yang selama ini terjadi serta melakukan pemulihan dampak sosial ekologis akibat perampasan lahan, penggusuran, deforestasi, dan eksploitasi sumber daya alam.
Keenam, mengajak warga masyarakat untuk terus mengkritisi kebijakan pemerintah dan memastikan bahwa penyelenggaraan negara tetap sesuai dengan konstitusi dan diperuntukkan untuk kemaslahatan rakyat.
Diketahui, Presiden Jokowi mengeluarkan peraturan yang memberi izin organisasi keagamaan untuk mengelola tambang batu bara dan mineral. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Aturan baru itu menyertakan pasal 83A yang memberikan kesempatan organisasi keagamaan untuk memiliki Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).
PP untuk memberi izin tambang terhadap ormas keagamaan ini bertentangan dengan UU tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang di dalamnya mengatur tentang pemberian izin usaha tambang, di mana penerima izin usaha tambang adalah badan usaha, koperasi, atau perusahaan perseorangan dengan cara lelang.
Sementara beberapa ormas keagamaan menegaskan tak akan terlibat usaha tambang yakni Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiah (NWDI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).
Namun Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menerima tawaran IUP tersebut. Ormas terbesar ini langsung gerak cepat mengajukan IUPK dan menjadi ormas keagamaan pertama yang mengajukan izin usaha tambang.
Baca Juga: Nahdliyin Pertanyakan Sikap PBNU Kelola Tambang: Dulu Mengharamkan, Kok Sekarang Menghalalkan?