Warga NU Alumni UGM Tolak Ormas Kelola Tambang, Ingatkan PBNU Soal Dosa Sosial Dan Ekologis

Bangun Santoso Suara.Com
Minggu, 09 Juni 2024 | 16:22 WIB
Warga NU Alumni UGM Tolak Ormas Kelola Tambang, Ingatkan PBNU Soal Dosa Sosial Dan Ekologis
Ilustrasi tambang batu bara. [Istimewa]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pemberian izin usaha pertambangan atau IUP kepada organisasi masyarakat (Ormas) keagamaan menuai pro dan kontra. Salah satu ormas yang sudah menyatakan siap mengelola tambang adalah Nahdlatul Ulama (NU).

Namun di sisi lain, tidak semua warga NU menerima keputusan itu. Sekelompok peneliti, akademisi, karyawan swasta hingga aktivis NU yang mengatasnamakan warga NU alumni UGM justru menolak adanya pemberian izin kepada ormas keagamaan mengelola tambang.

Dalam keterangan tertulis yang diterima Suara.com, Minggu (9/6/2024) sore, mereka membeberkan sejumlah alasan mengapa mereka menolak ormas mengelola tambang.

Menurut mereka, batu bara adalah sumber energi kotor yang berkontribusi besar terhadap pemanasan global dan perubahan iklim, menyebabkan banyak bencana di Indonesia. Nusantara sangat sensitif terhadap perubahan iklim dan geofisika/tektonik, menjadikannya salah satu daerah paling rawan bencana di dunia. Perubahan iklim meningkatkan kejadian dan dampak cuaca ekstrim, memperburuk bahaya hidrometeorologi seperti banjir, kekeringan, angin topan, puting beliung, dan tanah longsor.

Meskipun gempa bumi menyebabkan lebih banyak kematian, bencana hidrometeorologi menyebabkan lebih banyak korban luka, pengungsian, dan kerusakan harta benda. Emisi gas rumah kaca diperkirakan akan mengubah iklim tropis Pasifik, mempengaruhi sistem El Nino-Southern Oscillation (ENSO), dan menyebabkan kejadian El Nino dan La Nina yang lebih ekstrim.

Ekstraksi batubara di Indonesia, yang pada dasarnya hanya menyumbang sekitar 3% dari cadangan dunia, adalah kejahatan. Ekstraksi ini memperburuk kualitas sosial dan ekologi melalui perampasan tanah, penggusuran, deforestasi, polusi, dan lubang pasca tambang yang ditinggalkan.

Perubahan sosial dan ekologi di sekitar situs ekstraksi batu bara yang melibatkan pemerintah, elit politik dan ekonomi, masyarakat (adat, setempat, penduduk lokal), penghancuran kantong resapan air, serta peningkatan risiko banjir dan tanah longsor, semakin memperparah situasi. Deforestasi mengurangi sumber oksigen dan menambah emisi karbon, memperburuk pemanasan global.

Emisi dari batu bara juga berbahaya bagi itkesehatan pernapasan. Lubang-lubang pasca tambang yang tidak direklamasi telah merenggut banyak korban di Kalimantan, Sumatera, Bangka, dan daerah lainnya.

Ekstraksi batu bara di Indonesia berkelindan dengan korupsi. Dalam dua puluh tahun terakhir, banyak pejabat publik terjerat kasus korupsi terkait tambang batubara. Studi As’ad dan Aspinall (2015) menemukan bahwa bos tambang batu bara mendanai kandidat pemilu lokal di Kalimantan Selatan, memperoleh pengaruh istimewa dalam pemerintahan, terutama dalam membuat keputusan soal izin dan alokasi konsesi tambang.

Baca Juga: Banyak Profesor, Anggota DPR Minta Jangan Ragukan SDM NU untuk Kelola Tambang

Inisiatif untuk memperbaiki ekstraksi alam/Bumi sering gagal; secara teknik-manajerial karena suap oleh para penambang kepada pejabat pemerintah mempersulit penegakan peraturan; secara lebih substantif karena dalam ekstraksi alam/Bumi seperti batubara menubuh – membentuk dan dibentuk oleh – kapitalisme yang konsisten berjalan pada roda eksploitasi manusia/buruh dan penjarahan alam/Bumi oleh kapitalis. Kebijakan pemerintah melibatkan organisasi keagamaan dalam ekstraksi batubara adalah jalan menggeser ormas ke kelompok kapitalis, menempatkannya di sisi yang mengeksploitasi manusia lain dan menjarah alam/Bumi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI