Suara.com - Direktur Eksekutif Prakarsa, Ah Maftuchan, mengatakan pemerintah seharusnya bisa lebih terbuka dan jujur mengenai kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Terlebih kebijakan yang mendapat banyak penolakan ini mewajibkan iuran hampir 3 dari gaji pekerja.
"Menurut saya Pemerintah perlu lebih terbuka, lebih jujur kepada publik dan selalu mengedepankan proses perumusan kebijakan, regulasi yang lebih partisipatif," kata Maftuchan dalam diskusi daring, Sabtu (1/6/2024).
Ia lantas bercerita bagaimana para konfederasi serikat buruh ada yang diundang dalam pembahasan kebijakan Tapera ada juga yang mengaku tak diundang.
"Mereka sebagian menyatakan tidak, dan sebagian mereka menyatakan diundang sekali, dan itupun tidak Matang secara substansi. Artinya hanya melengkapi persyaratan formil saja, dan itu pun tidak cukup," tuturnya.
"Belum lagi, debat-debat secara terbuka dengan expert, akademisi dan seterusnya. Ini juga sangat minim sekali," sambungnya.
Menurutnya, Pemerintah terkesan membahas kebijakan dengan setengah kamar. Alhasil ketika kebijakan tersebut dikeluarkan malah menuai masalah.
"Kita selalu membahas dalam tanda petik di setengah kamar kemudian ketika meluncur peraturannya atau undang-undangnya atau regulasinya memunculkan polemik," katanya.
Lebih lanjut, masalah lainnya, kata dia, yakni persoalan Pemerintah yang terkesan terburu-buru dalam menerapkan kebijakan.
"Saya kira kebijaksanaan yang diperlukan adalah melakukan revisi segera, dan kalau perlu melakukan revisi di undang-undangnya, undang-undang perumahan rakyat," pungkasnya.
Baca Juga: Kadin Jakarta: Pekerja Sudah Punya Rumah atau Sedang Nyicil Sebaiknya Tak Ikut Tapera Lagi
Untuk diketahui, kebijakan pemerintah terkait Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang mewajibkan iuran hambir sebesar 3% dari gaji pekerja kembali menuai pro-kontra.
Aturan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 yang merupakan perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 20 Mei 2024.
Banyak pihak yang menyuarakan penolakan terhadap kebijakan ini. Salah satu alasan utama adalah pemotongan gaji hampir 3% yang memberatkan para pekerja, terutama di tengah kondisi ekonomi yang masih belum stabil pasca pandemi.