Suara.com - Seruan All Eyes on Rafah menggema ke seluruh dunia menyusul tindakan keji Israel yang melakukan genosida terhadap penduduk Palestina.
Terakhir, serangan ke Rafah akhir pekan lalu menewaskan setidaknya 50 warga sipil Palestina yang seharusnya tidak menjadi target perang.
Alhasil, seruan All Eyes on Rafah pun tak hanya diteriakkan warga dunia dan forum – forum internasional, tetapi juga di media sosial. Orang – orang yang peduli dengan Palestina sekaligus memboikot produk yang terafiliasi dengan Israel membagikan poster – poster bertuliskan All Eyes on Rafah.
Tentang Kota Rafah yang Jadi Kota Perbatasan
Melansir ensiklopedia Britannica, Rafah merupakan sebuah kota di sebelah selatan Jalur Gaza, Palestina. Terletak di sepanjang perbatasan Gaza dan Mesir, sejak abad ke-20 Rafah terbelah masuk di kedua wilayah negara tersebut.
Kini, Rafah merupakan kota terakhir yang terlindungi dari serangan zionis sepanjang perang. Namun, Israel membombardir wilayah tersebut sehingga kini warga sipil Palestina tidak lagi memiliki tempat aman.
Sepanjang sejarahnya, Rafah dikenal sebagai kota perbatasan karena letaknya di tepi barat daya dataran pantai. Semenanjung Sinai gampang dicapai dari kota ini. Rafah juga menjadi kota yang berperan penting dalam konflik Mesir dan Suriah pada 217 SM. Begitu pula ketika Mesir diduduki Inggris.
Namun, pada akhir abad ke-20 ketika pasukan Israel menyerang Gaza, kondisi Rafah mulai berubah. Israel menduduki Jalur Gaza dan Semenanjung Sinai dalam Perang Enam Hari (1967).
Dalam persiapan untuk penarikan dari Sinai, Israel membangun perbatasan modern Rafah yang melintasi selatan kota di sepanjang jalan utama antara kota Gaza dan Al-Arsh, Mesir, dan mengendalikan penyeberangan sampai penarikannya dari Jalur Gaza pada tahun 2005. Pembagian Rafah dalam dua negara pada tahun 1982 menyebabkan gangguan yang signifikan.
Israel dan Mesir telah menghancurkan sebagian besar distrik pusat kota untuk mengukir zona penyangga di sepanjang perbatasan. Warga mulai menggali terowongan untuk menghindari pembatasan Israel dan Mesir pada penyeberangan orang dan barang. Terowongan tersebut sedalam 15 meter di bawah tanah, terbentang bercabang sepanjang Gaza ke Mesir.
Terowongan bawah tanah di Rafah menjadi jalur kehidupan untuk menyelundupkan barang-barang vital ke Jalur Gaza, terutama setelah wilayah itu berada di bawah blokade Israel tahun 2007.
Namun, terlepas dari itu semua, Rafah merupakan sebuah kota yang subur. Penduduknya bermata pencaharian di sektor pertanian. Mereka banyak menanam sayur, buah, serta berniaga.
Kontributor : Nadia Lutfiana Mawarni