Suara.com - Kebijakan pemerintah mematok iuran Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera 3 persen dari gaji menuai kecaman dari berbagai pihak, khususnya para pekerja swasta. Mereka merasa tak seharusnya pendapatan mereka dipangkas karena dipaksa membeli rumah.
Salah seorang pegawai swasta di Jakarta, Amay (25) mengaku keberatan dengan kebijakan ini. Ia mengakui memang rumah atau tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar setiap orang.
Namun, kebanyakan pekerja juga sudah memiliki rencana sendiri untuk memilikinya.
"Ini dipotong 3 persen buat beli rumah kan? Kalau nggak mau beli rumah gimana? Kan kadang ada juga yang sudah punya duluan atau punya rencana sendiri,", ujar Amay saat dihubungi, Rabu (29/5/2024).
Baca Juga: Minta Pemerintah Tunda Tapera yang Sunat Upah Pekerja, Bamsoet Khawatirkan Ini
Menurutnya, ada juga temannya yang lain belum mau memiliki rumah sendiri. Rencananya mereka ingin menyewa atau kontrak sambil mengumpulkan uang.
"Ada juga teman saya ngontrak dulu. Sambil ngumpulin uang terus baru pertimbangin lagi mau beli rumah di mana," katanya.
Lagipula, kata Amay, tidak semua orang bersedia membeli rumah yang disediakan pemerintah. Sebab, menurutnya setiap orang memiliki selera terkait tempat tinggal masing-masing.
"Karena rumah kan vital ya. Ini kaitannya sama nanti berkeluarga mau tinggal di mana. Lingkungannya gimana. Rumah impiannya gimana. Nggak semua orang mau beli rumah yang dijual pemerintah," pungkasnya.
Ketentuan penarikan Tapera ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat.
Baca Juga: Tidak Potong Gaji seperti Tapera, Warga Korea Utara Dapat Rumah Gratis dari Negara
Dalam Ayat 2 pasal 15 PP tersebut ditetapkan besaran simpanan untuk peserta pekerja ditanggung bersama oleh pemberi kerja sebesar 0,5 persen dan pekerja sebesar 2,5 persen. Gaji setiap pekerja akan dipotong sebesar 2,5 persen sebagai iuran atau simpanan wajib tersebut.