Suara.com - Komisi Pembernatasan Korupsi (KPK) menanggapi pernyataan Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PDIP, Hugua yang mengusulkan agar praktik politik uang atau money politics dilegalkan pada penyelengaraan Pemilihan Umum (Pemilu).
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri menyebut, musuh utama program hajar serangan fajar yang diusung KPK adalah praktik politik uang.
"Itulah yang menjadi penyakitnya, menggerogoti demokrasi kita dan itu juga tidak ada aspek pembelajarannya kepada masyarakat, ketika kemudian harus memilih calon pemimpinnya yang benar-benar sesuai dengan apa yang akan dia perjuangkan, gitu kan," kata Ali dikutip Suara.com, Kamis (16/5/2024).
Lanjutnya, ketika suara masyarakat pada pemilu harus dibayar, maka yang mejadi persoalan berikutnya adalah upaya balik modalnya.
Baca Juga: Pimpinan KPK Nawawi Sedih dengan Polemik Kasus Etik Nurul Ghufron: Saya Tak Nyaman!
Baca Juga: Usul Money Politics Legal di Pemilu, Legislator dari PDIP: Dibatasi Maksimal Rp 5 juta
"Ketika dia menjabat, katakan lah Rp30 miliar sampai Rp50 miliar menjadi kepala daerah, ketika menjabat nantinya dia harus mengembalikan modal," kata Ali.
"Dan mengembalikan modal inilah yang menjadi pemicu untuk dia melakukan tindakan koruptif, selama dia memiliki kewenangan dalam jabatannya selaku kepala daerah. Saya kira itu yang menjadi jauh lebih penting untuk dipikirkan dampaknya," sambungnya.
Usul Politik Uang Dilegalkan
Usulan itu politik uang dilegalkan disampaikan Hugua saat rapat kerja Komisi II dengan KPU, Bawaslu, DKPP, pada Rabu (15/5/2024) kemarin.
Baca Juga: Hugua PDIP Saat Jadi Bupati Cuma Punya Harta Rp6 M Jadi Wakil Rakyat Simpan Rp14 M
Menurutnya, tidak mungkin peserta pemilu bisa terpilih kalau tidak ada money politics.
"Tidak kah kita pikir money politics kita legalkan saja di PKPU dengan batasan tertentu," kata Hugua.
Karena itu, dirinya meminta KPU melegalkan praktik money politics. Hanya saja, praktik money politics tersebut bisa legal dengan batasan tertentu. Agar tidak terlihat kotor, Hugua menyarankan istilah money politics legal itu diganti dengan sebutan cost politics.
"Jadi sebaiknya kita legalkan saja dengan batasan tertentu. kita legalkan misalkan maks Rp20 ribu atau Rp50 ribu atau Rp1 juta atau Rp5 juta," katanya.
Menurutnya, Bawaslu ikut berperan dengan melakukan pengawasan agar money politics legal tidak melebih batas.
"Ini coba dipertegas dan bahasanya dilegalkan saja batas berapa, sehingga Bawaslu juga tahu bahwa kalau money politics batas ini harus disemprit," terangnya.
Usulan Hugua lantas ditolak oleh Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia. Ahmad Doli menegaskan, pemerintah dan DPR RI harus tetap menolak adanya money politics dalam penyelenggaraan pemilu.
"Pokoknya mau satu rupiah pun harus kena tangkap, Pak. Jadi apalagi cuma PKPU," ucapnya dalam rapat.