RUU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers? Inilah Pasal-Pasal yang Kontroversial

M Nurhadi Suara.Com
Kamis, 16 Mei 2024 | 18:04 WIB
RUU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers? Inilah Pasal-Pasal yang Kontroversial
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu (tengah) saat konferensi pers soal RUU Penyiaran yang disiarkan secara online, Selasa (14/5/2024). [Screenshot YouTube Dewan Pers]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Draf RUU Penyiaran yang kini dalam pembahasan DPR menuai banyak kritik dari insan media. Daftar pasal kontroversi di RUU Penyiaran berderet hingga disebut mengancam kebebasan pers Indonesia. 

Dewan Pers dan seluruh komunitas pers dengan tegas menolak isi draf RUU Penyiaran. RUU ini merupakan inisiatif DPR yang direncanakan untuk menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

“Kami menolak RUU Penyiaran. Kami menghormati rencana revisi UU Penyiaran tetapi mempertanyakan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 justru tidak dimasukkan dalam konsideran RUU Penyiaran,” kata Ketua Dewan Pers, Dr Ninik Rahayu, dalam jumpa pers di Kantor Dewan Pers, Jakarta, Selasa (14/5/2024).

Suara senada dikemukakan Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Wahyu Dyatmika. Ia menegaskan, jika DPR atau pemerintah tetap ngotot untuk memberlakukan RUU itu, maka akan berhadapan dengan masyarakat pers. “Kalau DPR tidak mengindahkan aspirasi ini, maka Senayan akan berhadapan dengan komunitas pers,” kata Wahyu. 

Setidaknya ada tujuh poin dalam pasal – pasal RUU Penyiaran yang baru yang sampai saat ini masih menjadi kontroversi, sebagai berikut. Semuanya bertentangan 

1. Dalam draf RUU Penyiaran ada upaya untuk membedakan antara produk jurnalistik oleh media massa konvensional dengan produk serupa oleh media yang menggunakan frekuensi telekomunikasi. Dalam pasal 1 UU Pers dijelaskan, bahwa penyampaian informasi dari kegiatan jurnalistik dilakukan dalam bentuk media cetak, elektronik, dan semua saluran yang ada. Di sini jelas tidak ada pembedaan antara produk jurnalistik satu platform dengan platform lainnya. 

2. Pada pasal 15 ayat (2) huruf c disebutkan fungsi Dewan Pers yang antara lain menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Dengan demikian, sesuai UU Pers, tidak ada lembaga lain yang berfungsi serta memiliki kewenangan untuk menetapkan dan mengawasi KEJ. Sedangkan di pasal yang sama huruf d UU Pers menyatakan, fungsi Dewan Pers memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. 

3. Draf RUU Penyiaran menyebutkan ditempuhnya mediasi (oleh KPI) jika terjadi sengketa. Itu hanya mungkin dilaksanakan untuk siaran nonberita. Jika dilakukan juga mediasi untuk sengketa pemberitaaan, maka hal ini seolah menafikan keberadaan pasal 15 ayat (2) tersebut, khususnya huruf c dan d UU Pers. 

4. Larangan penayangan jurnalisme investigasi di draf RUU Penyiaran juga bertentangan dengan pasal 4 ayat (2) UU Pers yang menyatakan, bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran. Dampak lainnya, larangan itu akan membungkam kemerdekaan pers. Padahal jelas tertera dalam pasal 15 ayat (2) huruf a, bahwa fungsi Dewan Pers adalah melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain.

Baca Juga: 4 Poin-poin Kontroversial di Revisi UU Penyiaran, Ditolak Mentah-mentah Dewan Pers hingga AJI Indonesia

5. Peniadaan sensor pemuatan berita itu buah dari reformasi. Pers dan masyarakat menghendaki kemerdekaan dalam pemberitaan, sesuai dengan kaidah jurnalistik dan koridor lain yang menuntut tanggung jawab pers. Sangat disayangkan jika kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi itu kembali ditarik mundur dalam kehidupan berbangsa yang seyogianya semakin demokratis. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI