Suara.com - Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menyarankan presiden terpilih Prabowo Subianto untuk memangkas jumlah nomenklatur kementerian, ketimbang harus menambah dari 35 menjadi 40.
"Justru, Prabowo seharusnya menghapus banyak pos kementerian dan badan yang tidak diperlukan," kata Dedi kepada wartawan, Senin (13/5/2024).
Dedi memandang banyak kementerian hingga badan yang tidak diperlukan sehingga lebih baik dihapuskan. Misalkan, kata dia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, termasuk Menko PMK. Menurunya kementerian tersebut bisa dihapuskan.
"Lalu menghapus badan semisal Badan Siber, Ristek di lepas dari Kemendibud dan melebur ke BRIN," kata Dedi.
Baca Juga: Adik Prabowo Bangun Pabrik Timah Demi Cuan Rp1,2 T, Wanita Ini Jadi Paling Beruntung
Melihat situasi saat ini, kementerian lain yang layak dihapus adalah Kementerian Desa dan Transmigrasi. Dedi mengatakan kegiatan transmigrasi dan kesejahteraan desa menjadi tanggung jawab banyak kementerian, semisal Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Sosial.
"Begitu halnya dengan Kementerian Lingkungan Hidup dapat dilebur menjadi satu dengan Kementerian Pertanian," ujarnya.
Dedi menegaskan fungsi menteri ialah untuk menjalankan tuga melakukan koordinasi, bukan event organizer.
"Sehingga tidak terbatas wilayah jangkauannya, karena hanya fokus pada tata kelola administratif," kata Dedi.
Diketahui seiring ada wacana menambah pos kementerian dari 34 menjadi 40, Partai Gerindra belakangan mengakui terbuka untuk melakukan revisi aturan terkait.
Baca Juga: Rencana Prabowo Tambah Kementerian Tuai Kritik: Ajang Bagi-bagi Jatah, Birokrasi Makin Panjang
Dedi mengatakan aturan di dalam undang-undang saat ini mengamanatkan 34 kementerian. Tetapi bukan hal sulit untuk kemudian mengubah aturan tersebut.
"Jika Gibran dengan mudah masuk kontestasi di Pilpres dengan mengubah UU, tentu akan mudah juga untuk memenuhi keinginan Prabowo-Gibran membuat keputusan anggota kabinet lebih dari 34," kata Dedi.
"Soal reputasi kebijakan, pemerintah sudah banyak dinilai negatif, tetapi kesan negatif itu tidak membuat pemerintah mengevaluasi. Revisi tentu mungkin saja dan potensial dilakukan, mengingat kebutuhan Prabowo mendapat sokongan dari sebagian besar parlemen, juga presiden," tuturnya.
Kabinet Gemuk
Sebelumnya Dedi memperingatkan jangan sampai pemerintahan mendatang memiliki struktur kabinet yang kegemukan.
Menurutny, wacana penambahan nomenklatur dari 35 menjadi 40 di kabinet Prabowo mendatang terlalu berlebihan. Imbasnya, gerak pemerintahan justru bakal menjadi lamban.
"Gerak pemerintah makin lambat mengingat alur birokrasi kian panjang," kata Dedi.
Bukan saja soal alir biroktasi yang sekamin panjang, Dedi melihat penembahan junlah nomenklatur kementerian tersebut hanya menjadi ajang bagi-bagi jatah. Ia berujar komposisi kursi kabinet yang ditambah cenderung untuk mengakomodasi kepentingan politik dibanding soal laju pembangunan.
"Banyaknya pos yang dibentuk presiden akan menjadi ajang pembagian kekuasaan tim sukses di Pilpres dan juga partai pengusung, selain menghabiskan banyak anggaran, juga akan terancam minim kerja," kata Dedi.
Sebaliknya, Dedi berpandangan agar pemerintah lebih baik melakukan restrukturisasi kementerian di tingkat daerah.
"Saat ini tidak semua kementerian miliki garis struktur yang lengkap hingga ke daerah," kata Dedi.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani bicara mengenai peluang melakukan revisi terhadap Undang-Undang tentang Kementerian Negara, menyusul wacana penambahan nomenklatur kementerian pada pemerintahan Prabowo Subianto mendatang, dari 34 menjadi 40.
Menurut Muzani peluang melakukan revisi memang dimungkinkan sebelum Prabowo dilantik menjadi presiden pada 20 Oktober 2024.
"Ya, mungkin revisi itu dimungkinkan," kata Muzani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Minggu (12/5/2024).
Ada beberapa alasan mengapa Undang-Undang tentang Kementerian Negara berpeluang direvisi. Salah satunya, menurut Muzani lantaran aturan mengenai jumlah nomenklatur di undang-undang tersebut di satu sisi membatasi bagi presiden terpilih dalam memimpin negara lima tahun ke depan.
Muzani berpandangan setiap pemerintahan memiliki kebutuhan nomenklatur kementerian yang berbeda untuk menyesuaikan dengan tantangan zaman dan program yang bakal diterapkan. Ia mencontohkan, misalnya ada perubahan dari era Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri ke Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono hingga ke Presiden Joko Widodo atau Jokowi
"Dan apakah dari Pak Jokowi ke Pak Prabowo ada perubahan, itu yang saya belum," kata Muzani.
"Tetapi karena setiap presiden punya masalah dan tantangan yang berbeda. Itu yang kemudian menurut saya, Undang-Undang Kementerian itu bersifat fleksibel tidak terpaku pada jumlah dan nomenklatur," kata Muzani.