Suara.com - Panglima Pasukan Manguni, Andy Rompas, ikut buka suara, terkait aksi pembubaran ibadah mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (Unpam).
Bagi Andy Rompas, aksi-aksi pembubaran ibadah adalah hal biasa yang terjadi di Indonesia. Ini terjadi menurut dia karena ada pembiaran dari pemerintah.
Baca Juga:
Mahasiswa Katolik Unpam Digeruduk saat Ibadah, Pendeta Gilbert: Hanya Bisa Berdoa, Agar Ada Keadilan
Baca Juga: SETARA Institute Kecam Aksi Pembubaran Ibadah Mahasiswa Unpam: Langgar Kebebasan Beragama
"Itu sudah biasa itu di bangsa Indonesia karena dibiarkan atas istilah mayoritas minoritas. Banyak orang tidak paham istilah mayoritas minoritas," ujar Andy Rompas dikutip dalam video yang beredar di media sosial.
Menurut dia, kalau istilah mayoritas minoritas selalu dipakai dan para penceramah-penceramah radikal dan ujaran kebencian terus dibiarkan maka peristiwa pembubaran ibadah tidak akan pernah berhenti.
Andy Rompas mengatakan, penangkapan pelaku tidak akan menyelesaikan masalah jika orang-orang di atas tidak ditangkap.
"Sekarang malam ini pelaku ditangkap, apakah akan selesai? Tidak selesai kalau di atasnya tidak ditangkap. Contoh seperti Bahar bin Smith jelas-jelas ceramah mengangkat pedang, memfitnah orang Minahasa yang ada di tanah Minahasa dia kan tidak tahu cerita kronologisnya," tutur Andy Rompas.
Ia lalu membahas lagi mengenai penggunaan kata mayoritas minoritas. Menurut Andy, istilah mayoritas minoritas hanyalah untuk hitungan jumlah penduduk.
Sementara jika kata mayoritas minoritas dilihat dari sisi jumlah wilayah kepulauan, Andy Rompas mengatakan, 9 provinsi utama di Indonesia adalah mayoritas umat Kristiani.
"Papua, Sulawesi Utara, NTT, Flores, Sumba, itu baru berapa pulau. Bayangkan jika itu ditambahkan semua berapa luas yang diduduki kaum minoritas 874.355 km2. Jumlah seluruh wilayah kepulauan seluruh Indonesia hanya 1,9 juta. Jadi tidak ada itu istilah mayoritas minoritas," tuturnya.
Solusi agar kejadian ini tidak terulang, menurut Andy Rompas adalah pemerintah harus tegas dan tidak membiarkan rakyat larut dengan suasana seperti itu.
Ia pun memberi pesan kepada teman-temannya dari Indonesia Timur yang mendatangi Tangerang. Ia meminta orang-orang Indonesia Timur di Jakarta menahan diri jangan terpancing agar tidak terjadi perang saudara atau perang agama.
"Saya pesan basaudara yang ada di Jakarta jangan terpancing kalian kalau sampai ikut perang saudara, rugi tidak ada hasil apa-apa karena tidak ada pahlawan dalam perang saudara. Sudah terbukti kasus Poso, Ambon, siapa yang dilihat pahlawan? Tidak ada. Korbannya ada Tibo cs di Poso. Apakah harus terulang lagi seperti itu?" ucap Andy.
Andy lalu menyarankan pemerintah yang memiliki badan lembaga sangat besar untuk tidak membiarkan para penceramah radikal dan ujaran kebencian.
"Kenapa ini selalu dibiarkan? Yang ditangkap di bawah tetapi di atas penceraman-penceraman radikal ujaran kebencian terus dibiarkan bahkan saya lihat penuh dengan kemewahan contohnya Habib Bahar bin Smith memamerkan kemewahannya, Ustaz Abdul Somad memamerkan Harley Davidsonnya dengan klubnya lagi," terang Andy Rompas.
Menurutnya, jika minoritas merasa selalu dilecehkan, merasa tidak pernah mendapat keadilan bisa saja mereka mengikuti pembela seperti di Papua.
"Kalau seandainya Indonesia Timur bersatu dan tidak mendapat keadilan terus menerus dan meminta referendum apakah kita harus terpecah belah seperti itu? Sementara hanya ada 3 juta orang radikal di Jakarta dibiarkan bebas begitu saja," tuturnya.
Andy Rompas mengatakan, butuh ketegasan pemerintah untuk mengatasi hal ini. Ia mengatakan, akar permasalahan yang harus dicabut dan dihilangkan bukan korban pemaparan paham-paham radikal yang ditangkap.
"Contohnya Anies Baswedan jelas-jelas memakai politik identitas di saat pemilu kemarin. Pak Jokowi sudah menjalankan apa yang bisa ia lakukan dan kita berharap Pak Prabowo nanti di bulan Oktober setelah dilantik beliau dapat menindak untuk keutuhan NKRI sesungguhnya," kata Andy Rompas.