Suara.com - Penerapan kebijakan tata ruang Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu Zero Delta Q sebagai solusi pengendalian banjir pada proses politik tematik coba diusulkan Pemerintah Indonesia di World Water Forum ke-10 yang akan berlangsung di Nusa Dua, Bali, 18-25 Mei 2024.
Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Bob Arthur Lombogia mengatakan bahwa pengelolaan dan mitigasi bencana khususnya banjir di Indonesia memerlukan penyelarasan menata perilaku manusia terhadap lingkungan.
Menurut Bob, Kebijakan Zero Delta Q dapat dijadikan suatu isu dalam proses politik World Water Forum 2024 bahwa ini perlu kita terapkan. Mengingat masih ada tantangan utama yang harus dilakukan saat ini untuk masa yang akan datang, yaitu upaya untuk mempertahankan surface run-off pada suatu DAS yang diakibatkan oleh perubahan tata guna lahan.
Penerapan kebijakan Zero Delta Q perlu diterapkan pada setiap kegiatan pemanfaatan lahan di setiap DAS, untuk mempertahankan fungsi dan umur rencana infrastruktur yang telah dibangun sebelumnya.
Baca Juga: Sejarah di Liga Indonesia, Bali United Nantikan Penggunaan VAR di Championship Series BRI Liga 1
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 13 Tahun 2017 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kebijakan Zero Delta Q yaitu keharusan agar tiap bangunan tidak boleh mengakibatkan bertambahnya debit air ke sistem saluran drainase atau sistem aliran sungai. Kebijakan ini ditetapkan sebagai persyaratan dalam penerbitan izin pemanfaatan ruang dalam suatu DAS. Misalnya, dalam Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau izin pemanfaatan ruang lainnya.
“Implementasi dari kebijakan Zero Delta Q tidak mungkin berjalan sendiri. Kita harus lakukan secara bersama-sama karena sebagian besar penerapan kebijakan ini ada di wilayah pemerintah daerah. Diperlukan dukungan pemerintah pusat dan daerah, termasuk terhadap pemanfaatan lahan pada suatu DAS untuk pertanian dan kegiatan masyarakat lainnya,” ujar dia.
Lebih lanjut Bob menjelaskan, dalam mengatasi bencana banjir, diperlukan juga strategi struktural yaitu menata perilaku air untuk mitigasi bencana meliputi antara lain pembangunan tampungan air seperti waduk, embung, kolam retensi, sumur resapan, dan lainnya. Kemudian peningkatan kapasitas sungai, membagi air sungai, meningkatkan kecepatan air sungai, pengendalian sedimentasi, penataan drainase, dan mencegah air laut masuk ke darat.
Contoh nyata pembangunan infrastruktur untuk mengelola air dan mitigasi bencana banjir antara lain normalisasi sungai Ciliwung, kolam retensi yang dipadukan dengan tanggul-tanggul di Cilincing Jakarta Utara dan pompa Ancol Sentiong. Adapun program pengendalian daya rusak air oleh Kementerian PUPR telah dilakukan pembangunan Infrastruktur Pengendali Banjir dan Pengamanan Pantai dengan total panjang 1.901 Km, dan Bangunan Pengendali Sedimen dan Lahar sebanyak 423 buah yang tersebar di seluruh Indonesia.
Berdasarkan data World Risk Report 2023, Indonesia menempati urutan ke-2 sebagai negara paling berisiko tinggi terhadap bencana, dengan World Risk Index (WRI) mencapai 43.50. Hal ini dinilai berdasarkan faktor keterpaparan (exposure) terhadap bencana akibat infrastruktur yang tidak berketahanan iklim dan kerentanan (vulnerability) akibat kurang memadainya manajemen pengurangan risiko bencana.
Baca Juga: Mengenal Tradisi Dharma Suaka, Akan Dijalani Mahalini dan Rizky Febian Sebelum Nikah?
Sementara merujuk pada data BNPB, jumlah kejadian banjir selama kurun waktu 2019-2021 mengalami peningkatan sementara sejak 2022 jumlah kejadian tersebut justru berkurang di tengah fenomena El Nina yang meningkatkan curah hujan. Hal ini adalah salah satu indikator keberhasilan upaya mitigasi bencana banjir melalui strategi struktural berupa pembangunan infrastruktur pengendali banjir.
World Water Forum ke-10 diharapkan dapat menjadi platform untuk bertukar pengalaman dan praktik terbaik terkait pengelolaan bencana termasuk banjir melalui tiga proses utama, yakni tematik, regional, dan politik.