Suara.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai proses penuntasan kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat semakin jauh dari harapan usai Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming dinyatakan sebagai presiden dan wakil 2024-2029 terpilih.
Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya mengatakan dengan ditetapkannya Prabowo selaku terduga pelaku Pelanggaran HAM Berat pada peristiwa Penghilangan Paksa 1997-1998 sebagai presiden menandakan bahwa agenda-agenda reformasi telah dikhianati oleh sistem demokrasi yang dilahirkan oleh proses reformasi itu sendiri.
"Setelah berlangsung mengalami jatuh-bangun selama 26 tahun, kini mencapai titik terendahnya. Selama ini para presiden yang terpilih pasca-reformasi, yakni Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo belum berhasil menuntaskan kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat yang telah terjadi. Kini, pasca Prabowo Subianto resmi terpilih menjadi presiden nampaknya proses penuntasan kasus-kasus Pelanggaran HAM berat semakin jauh dari harapan," kata Dimas dalam keterangannya, Kamis (25/4/2024).
Di sisi lain, KontraS juga menyoroti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak seluruh gugatan sengketa Pilpres 2024. Sebagai lembaga peradilan yang seharusnya menjadi penjaga konstitusi atau guardian of constitution serta ‘benteng’ terakhir penegak nilai demokrasi, KontraS menyebut MK justru melegitimasi pemimpin yang terpilih lewat cara yang bermasalah.
Baca Juga: Resmi! Surya Paloh Umumkan Partai NasDem Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran
"Putusan MK menjadi semakin problematik karena dalam pertimbangannya MK juga menyatakan bahwa terpilihnya Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden adalah sah dan Putusan No. 90 terkait batas usia Cawapres dalam UU Pemilu yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka bukan bagian dari nepotisme. MK juga seakan mengabaikan fakta bahwa para proses Pemilu yang telah berlangsung terjadi, diwarnai dengan dugaan pengerahan aparat seperti Pj Kepala Daerah dan perangkat desa, ditambah politisasi bantuan sosial untuk memenangkan Prabowo-Gibran," tutur Dimas.
"Padahal fakta-fakta tersebut telah nyata terbukti di lapangan dan telah dihadirkan selama proses pembuktian di persidangan," imbuhnya.
MK, lanjut Dimas, juga terbukti tidak mampu memberikan putusan yang menghasilkan keadilan substantif dan mengekang dirinya pada sebatas keadilan prosedural semata.
"Lewat putusan PHPU tersebut, lembaga peradilan dalam hal ini MK sebagai salah satu harapan publik telah resmi gagal menyelamatkan situasi demokrasi dan HAM," kata dia.
Berangkat putusan MK dan ditetapkannya Prabowo-Gibran sebagai presiden dan wakil presiden terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Dimas menilai era reformasi secara resmi telah berakhir.
Baca Juga: Prabowo Subianto Dapat Kritikan Pedas Buntut Ucapan 'Senyum Anda Berat' ke Anies Baswedan
"Terpilihnya mantan menantu dari Soeharto dan suburnya praktik KKN, Indonesia telah kembali sepenuhnya ke ‘jurang’ rezim orde baru. Adapun Pemilu sebagai saluran utama daulat rakyat justru telah terselenggara dengan curang lewat berbagai manuver politik dan intervensi kekuasaan. Begitupun agenda supremasi hukum yang tak berdaya untuk mengadili kesewenang-wenangan kekuasaan," pungkasnya.